Memilih Pemimpin, Belajar dari Pancaniti
oleh : Saep Lukman*)
Pendahuluan
Pada 27 November 2024, masyarakat Cianjur akan menyambut momentum politik yang menentukan masa depan kabupaten berpenduduk lebih dari 2,5 juta jiwa ini. Pilkada bukan sekedar ajang perebutan suara, tetapi juga harus menjadi ruang refleksi bagi masa depan wilayah yang dikenal sebagai jantung harmoni budaya Sunda ini.
Tiga pasangan calon (paslon) telah mencuri perhatian kita melalui kampanye dan debat publik yang disiarkan berbagai kanal media. Masing-masing telah menawarkan visi dan misi yang berakar dari kebutuhan masyarakat sesuai dengan keyakinan perjuangannya.
Kita sudah menjumpai dalam kontestasi ini, ketika setiap paslon tak lupa selalu membawa kelebihan yang dianggap unik untuk mengundang perhatian publik termasuk para pengamat politik, akademisi, dan rakyat Cianjur.
Di tengah situasi itu, Cianjur selalu menyimpan narasi politik kaya dengan tradisi dan simbol. Bagi masyarakat Cianjur, pilkada bukan sekadar ajang perebutan kekuasaan, melainkan juga arena untuk merayakan dan merawat nilai-nilai lokal yang melekat pada identitas masyarakat.
Di balik hiruk-pikuk kampanye, bayang-bayang simbol sejarah politik Cianjur dan Sunda tetap hidup, seperti napas panjang masa lalu yang selalu mengalir hingga hari ini. Lalu apa yang harus kita lakukan menjelang pemilihan ini, terutama saat masa tenang sebelum pencoblosan dilaksanakan?
Hal ini perlu menjadi bahan renungan agar pemimpin yang kita pilih nanti membawa manfaat lebih besar bagi kemaslahatan masyarakat Cianjur, bangsa dan negara.
Belajar dari Pancaniti
Sejarah Cianjur tidak dapat dilepaskan dari sosok Dalem Pancaniti (RAA Kusumahningrat, wafat 1862), pemimpin legendaris yang dikenal karena kebijaksanaannya. Dalam tradisi Sunda, Bupati Cianjur ke-10 ini adalah simbol kasepuhan—pemimpin yang tidak hanya bertindak sebagai penguasa, tetapi juga sebagai penjaga nilai-nilai moral dan spiritual.
Menurut Aditia Gunawan dalam tulisannya, "Dalem Pancaniti: Penulis dari Pendopo Cianjur," Dalem Pancaniti berhasil memadukan tradisi Sunda dengan pengaruh Islam-Jawa, menjadikan kepemimpinannya sebagai ruang untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan sosial dan spiritual masyarakat.
Seperti di banyak tempat di Jawa, politik di Cianjur tidak hanya bergerak di ranah formal, tetapi juga sarat dengan simbol dan nilai-nilai tradisi. Benedict Anderson, dalam bukunya "Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia," menyebut bahwa kekuasaan di Jawa dipahami sebagai pusat keseimbangan.
Pemimpin ideal adalah mereka yang mampu menjaga harmoni antara rakyat, alam, dan nilai-nilai spiritual. Di Pilkada Cianjur, simbolisme ini sepatutnya hadir dalam narasi-narasi kerakyatan yang diusung oleh para kandidat. Bukankah mereka terlalu sering berbicara tentang rakyat kecil, menyoroti pentingnya kesejahteraan, dan mempromosikan program yang terhubung dengan kebutuhan masyarakat?
Namun, simbol-simbol dan ucapan itu bisa jadi lebih bermakna jika diwujudkan dalam tindakan nyata. Sebab pemimpin yang baik bukan hanya mereka yang mampu berbicara, tetapi juga yang mampu merealisasikan janji-janji yang dilontarkan dari mulutnya, termasuk dari mulut para tim suksesnya.
Harapan dan Realitas
Di tengah dinamika politik modern, narasi kerakyatan selalu menjadi senjata utama dalam Pilkada. Kandidat berlomba-lomba menunjukkan kedekatan mereka dengan masyarakat kecil, menjanjikan perubahan, pembangunan, dan kehidupan yang lebih baik. Namun, apakah semua itu benar-benar memiliki substansi? Hannah Arendt, dalam bukunya "The Human Condition," mengingatkan bahwa kekuasaan sejati berasal dari kemampuan untuk mendengarkan dan menciptakan ruang dialog.
Dalam konteks Cianjur, ruang ini dapat diwujudkan melalui program-program yang menyelaraskan tradisi lokal dengan kebutuhan modern, seperti mendukung pelestarian seni dan budaya Sunda serta mendorong pendidikan berbasis teknologi dan inovasi ekonomi berkelanjutan yang diimbangi dengan kepedulian pada akar dan tradisi.
Menurut saya, pemimpin Cianjur hari ini menghadapi tantangan besar: bagaimana mempertahankan nilai-nilai lokal sembari menjawab kebutuhan modern. Tradisi kasepuhan, seperti yang diwariskan oleh Dalem Pancaniti, menawarkan nilai moral yang kuat, tetapi pemimpin juga harus mampu memberikan solusi konkret atas masalah-masalah kontemporer, seperti lapangan kerja, pelayanan publik, dan pemerataan pembangunan.
Pada situasi ini, simbol-simbol tradisional dapat menjadi alat yang kuat untuk menciptakan legitimasi politik. Namun, seperti yang diingatkan oleh Martin van Bruinessen dalam bukunya "Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat," simbol tidak akan bermakna jika tidak dihidupkan melalui kebijakan yang relevan dan inklusif.
Atas dasar itulah, seperti diungkapkan Clifford Geertz, dalam bukunya "The Interpretation of Cultures," bahwa politik sering dipahami sebagai ritual. Pemimpin adalah dalang yang memainkan perannya dalam menjaga keseimbangan sosial.
Di Cianjur, konsep ini tetap relevan. Pilkada tidak hanya menjadi kompetisi politik, tetapi juga ritual besar di mana rakyat mencari pemimpin yang dapat menjadi penuntun mereka. Namun, ritual ini akan kehilangan maknanya jika hanya berhenti pada simbol. Pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjadikan simbol itu hidup, yang mampu menerjemahkan nilai-nilai dalam tradisi ke dalam tindakan nyata.
Kesimpulan
Pilkada Cianjur adalah cerminan dari bagaimana tradisi dan modernitas bisa bertemu dalam ruang politik. Pemimpin yang berhasil adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, antara simbol dan substansi, antara harapan rakyat dan realitas kebijakan.
Dalam bayang-bayang Dalem Pancaniti, kita melihat bahwa kepemimpinan bukan sekadar soal kekuasaan, tetapi soal menjaga harmoni. Politik di Cianjur, pada akhirnya, bukan hanya tentang siapa yang menang, tetapi tentang siapa yang mampu merawat hati rakyat dan menjaga nilai-nilai luhur yang telah diwariskan.
Seperti yang dikatakan dalam tradisi Jawa: Pemimpin sejati adalah mereka yang menjaga keseimbangan antara bumi dan langit, antara rakyat dan dirinya sendiri. Di tanah Parahyangan, pesan ini harus terus hidup, harus terus diingat bahwa politik adalah mencari berkah, khidmah dan amanah, bukan sekadar permainan angka.
*) Saep Lukman, Mentor Kelas Menulis di Lokatmala Foundation. Ketua Biro Media dan Penggalangan Opini DPD Partai Golkar Provinsi Jawa Barat.