Cerita Mengerikan WNI Dipaksa Kerja di Judi Online Kamboja
Perjalanan empat jam yang menegangkan dari kota Bavet ke Ibu Kota Kamboja, Phnom Penh, bagi pekerja asal Indonesia, Slamet.
Pria warga negara Indonesia (WNI) yang baru saja melarikan diri dari jaringan perjudian online tempat dia dipaksa bekerja selama tiga bulan itu sedang menuju Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk mencari pertolongan agar bisa pulang.
Namun, kenangan akan pengalamannya yang terjadi pada tahun 2023 itu masih menghantui Slamet hingga saat ini.
Dalam wawancara dengan Channel News Asia (CNA), Slamet meminta agar nama aslinya tidak disebutkan karena dia takut.
"Saya takut karena (bos di Kamboja) masih mencari saya," kata pria berusia 27 tahun itu kepada CNA, yang dilansir Senin (13/1/2025).
Mengenang hari yang menentukan ketika dia melarikan diri dari jaringan perjudian online di Bavet—kota yang merupakan perbatasan internasional antara Kamboja dan Vietnam—Slamet mengatakan bahwa dia hanya membawa dompet, ponsel, dan pengisi daya.
Setelah meminta izin keluar sebentar untuk merokok, Slamet memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri dan memanggil taksi. Dia kemudian meminta sopir taksi untuk mengantarnya ke ibu kota yang berjarak sekitar 160 km.
“Saya terpaksa mencuri dari perusahaan untuk membayar ongkos pulang,” kata Slamet, yang berasal dari Jawa Timur, melalui panggilan telepon.
Slamet menambahkan bahwa dirinya ditipu oleh seorang perekrut yang ditemuinya di Kota Malang yang menawarinya gaji bulanan sebesar Rp15 juta untuk bekerja di sebuah pabrik di Vietnam. Gaji tersebut belum termasuk “tunjangan makan” sebesar USD200 yang dijanjikan kepadanya.
Jumlah tersebut jauh lebih besar daripada yang bisa diperolehnya jika bekerja di Indonesia. Menurut situs pengumpulan data Statista, rata-rata karyawan Indonesia dapat mengharapkan gaji bersih bulanan sekitar Rp3 juta per Februari 2024.
Selain itu, Slamet sedang menganggur saat tawaran itu datang.
Namun, alih-alih dikirim ke Vietnam, dia malah dibawa ke sebuah apartemen di Bavet untuk menjadi staf administrasi sebuah situs judi online pada Januari 2023.
"Saya hanya digaji Rp4 juta per bulan dan harus bekerja lebih dari 12 jam sehari, kantor dijaga oleh orang-orang bersenjata dan anjing pelacak," kata Slamet.
Sebagai bagian dari "pekerjaannya", dia ditugaskan untuk mengelola transaksi dari mereka yang berpartisipasi dalam aktivitas judi online di Indonesia.
"Saya tahu kata sandi bank dan nomor pin perusahaan itu. Saya mentransfer sekitar Rp30 juta uang mereka ke rekening bank saya. Jika saya tidak melakukan ini, saya tidak akan bisa pulang," kata Slamet kepada CNA, seraya menambahkan bahwa dia masih dilecehkan oleh mantan bosnya di Kamboja.
Bulan lalu, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Indonesia Judha Nugraha mengatakan bahwa KBRI di Phnom Penh menangani sekitar 15 hingga 30 laporan setiap hari dari WNI yang mencari bantuan.
Judha mengatakan bahwa sejak Januari hingga November 2024, KBRI di sana telah berhasil menangani lebih dari 2.946 kasus terkait perlindungan WNI dengan lebih dari 76 persen di antaranya terkait dengan penipuan online.
Lindungi Hak dan Kepentingan Awak Kapal, Taiwan Investigasi Dugaan Pelanggaran 12 Kapal Ikan
Menurut para pakar, WNI yang menjadi korban perdagangan manusia melalui media online menjadi tren sejak pandemi Covid-19, ketika banyak orang putus asa mencari pekerjaan dan menjadi rentan terhadap penipuan.
Pengamat juga melihat adanya pergeseran dalam perkembangan kasus perdagangan manusia. Para pelaku kini menyasar anak muda dengan pendidikan tinggi. Mereka juga tidak lagi dikirim ke negara-negara Timur Tengah, tetapi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Penyiksaan Fisik dan Mental
Saat Slamet mengungkapkan rasa tidak puasnya dan meminta dipulangkan ke Indonesia, majikannya menuntut denda sebesar Rp50 juta jika ingin dipulangkan, sehingga dia tidak punya pilihan selain tetap bekerja di sana.“Tidak ada perjanjian kontrak sama sekali,” kata Slamet, seraya menambahkan bahwa dia bekerja di apartemen yang disewa oleh beberapa perusahaan perjudian dan penipuan online.
Menurut Slamet, sebanyak 80 persen dari mereka yang bekerja bersamanya adalah WNI, termasuk mantan bosnya yang berasal dari Sumatra Utara.
Slamet bekerja dan tidur di kantor dan hanya bisa keluar untuk makan atau pergi istirahat merokok. Bahkan itu pun dikontrol oleh para penjaga, katanya.
“Jika saya tidak kuat secara mental saat itu, saya bisa saja bunuh diri," ujarnya.
Menanggapi pertanyaan CNA, KBRI Phnom Penh mengatakan bahwa secara umum, sebagian besar WNI yang menghadapi masalah di Kamboja dan telah kembali ke rumah dalam kondisi fisik dan mental yang baik.
Namun, kedutaan juga mencatat bahwa beberapa dari mereka berada dalam “kondisi fisik dan psikologis yang buruk”.
Seorang anggota staf dari organisasi advokasi Migrant Care di Jakarta mengatakan bahwa mereka telah menerima beberapa laporan tentang pelecehan terhadap WNI yang bekerja di Kamboja.
“Beberapa diborgol, disetrum, dan dipukuli dan alasan pelecehan ini bervariasi, antara lain seperti gagal memenuhi target atau dihukum karena mengajukan pengaduan,” kata Arina Widda Faradis, yang bekerja di divisi bantuan hukum di organisasi tersebut, kepada CNA.
Hal itu juga dibenarkan oleh Slamet yang mengatakan bahwa perusahaan judi online di Kamboja akan menggunakan senjata listrik atau taser terhadap karyawan yang dianggap tidak kompeten dalam bekerja.
Di Mana Perang Dunia III akan Terjadi?
“Teman saya bercerita bahwa dia pernah disetrum karena tidak menguasai pekerjaan setelah seminggu pelatihan dan jika seminggu lagi tidak bisa, dia diancam akan disetrum lagi,” ungkap Slamet.
“Dan jika dalam sebulan tidak kompeten, dia diancam (dipindahkan) ke Myanmar. Entah bagaimana nasibnya jika dia di Myanmar?”
Sementara itu, berbagai kasus perdagangan manusia juga mencuat di media sosial dari para korban yang diduga.
Akhir bulan lalu, sebuah video Agung Haryadi yang berusia 25 tahun tengah mencari pertolongan menjadi viral.
Dalam video tersebut, pria asal Tanjung Pinang, Kepulauan Riau itu memperlihatkan sebuah kamar kecil tempat dia disekap di Kamboja dengan hanya tiga kasur tipis di lantai.
“Saya ditekan, tidak diberi makan, dan dipaksa bekerja,” katanya seraya menambahkan bahwa dia hanya diberi air minum dalam botol di dalam kamar.
Judha mengatakan bahwa pihak berwenang di Indonesia sedang menyelidiki kasus tersebut dan telah berhasil menghubungi Agung.
“Setelah kami berhasil mendapatkan informasi yang diperlukan, KBRI Phnom Penh akan berkoordinasi dengan otoritas Kamboja untuk menangani kasus tersebut,” ujarnya pada 2 Januari lalu.
Namun, perlu dicatat bahwa tidak semua WNI yang menghadapi masalah di Kamboja merupakan korban perdagangan manusia.
Laporan dari KBRI menunjukkan bahwa terdapat 2.321 kasus WNI yang menghadapi masalah di Kamboja sejak Januari hingga September tahun lalu, meningkat 122 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang mencatat 1.386 kasus.
Namun, dari 2.321 kasus yang tercatat, hanya tiga yang terbukti menjadi korban perdagangan manusia.
Pada tahun 2023, terdapat 39 kasus perdagangan manusia yang dilaporkan, sedangkan pada tahun 2022, terdapat 425 kasus WNI yang diperdagangkan di Kamboja.
Berdasarkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang di Indonesia, tindak pidana perdagangan orang didefinisikan sebagai perekrutan seseorang—baik melalui kekerasan, ancaman, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, atau penjeratan utang—baik di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk tujuan eksploitasi.
Pada 13 Desember tahun lalu, Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan bahwa ada banyak WNI yang dengan sukarela memilih bekerja untuk perusahaan perjudian dan penipuan online. Ini berarti mereka tidak dapat dianggap sebagai korban penipuan ketenagakerjaan, kata Judha.
Data dari KBRI Phnom Penh menunjukkan ada total 139.693 orang Indonesia di Kamboja hingga Oktober tahun lalu, meningkat 34 persen dari periode yang sama pada tahun 2023.
Seperangkat data lain dari Juni 2024 menunjukkan bahwa 58 persen dari WNI di Kamboja ini telah menyatakan bahwa mereka bekerja di bisnis atau industri online.
Pada bulan Agustus 2023, Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengungkapkan bahwa ada ratusan ribu orang yang diperdagangkan ke dalam kejahatan online di seluruh Asia Tenggara, “menghasilkan pendapatan sebesar miliaran dolar Amerika Serikat setiap tahun”.
Laporan tersebut mengatakan bahwa setidaknya 120.000 orang di Myanmar dan 100.000 lainnya di Kamboja mungkin ditahan dalam situasi di mana mereka dipaksa melakukan penipuan online yang menguntungkan—mulai dari penipuan investasi asmara, penipuan kripto hingga perjudian ilegal.
Negara-negara tetangga di kawasan tersebut seperti Laos, Filipina, dan Thailand juga telah diidentifikasi sebagai negara tujuan atau transit utama di mana setidaknya puluhan ribu orang telah terlibat, menurut laporan tersebut.
Namun, pemerintah Kamboja menyebut laporan tersebut "tidak berdasar".
Perjudian di negara tersebut legal bagi wisatawan dan orang asing seperti yang terlihat dari semakin banyaknya kasino yang dimiliki oleh investor China, terutama di Sihanoukville.
Namun, hanya wisatawan dan orang asing yang diizinkan untuk berjudi di kasino-kasino ini sementara warga lokal yang melanggar undang-undang perjudian dapat dipenjara atau didenda.
Menyusul kemarahan atas maraknya penipuan online di Kamboja, pemerintah mengeluarkan larangan terhadap perusahaan perjudian online pada tahun 2019.
Kemudian pada September 2022, pihak berwenang meluncurkan penggerebekan besar-besaran terhadap perusahaan perjudian dan penipuan online, yang mengakibatkan penangkapan dan deportasi ribuan orang.
Meskipun ada tindakan keras, laporan media lokal mengatakan bahwa banyak situs perjudian online terus beroperasi di negara itu meskipun ada larangan.
Seorang korban perdagangan manusia di Kamboja mengatakan kepada Voices of America (VoA) dalam sebuah wawancara bahwa penggerebekan pada tahun 2022 hanya mendorong perusahaan perjudian daring untuk memindahkan lokasi mereka.
Direktur Migrant Care Indonesia Wahyu Susilo, mengutip laporan tahunan Trafficking in Persons (TIP) oleh Departemen Luar Negeri AS pada tahun 2024, mengatakan kepada CNA bahwa Kamboja dan Myanmar berada dalam kategori “Tingkat 3” terburuk.
“Sindikat perdagangan manusia terbesar beroperasi di wilayah Mekong—Kamboja, Myanmar, dan Laos—karena pemerintah dan lembaga penegak hukum tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan,” kata Wahyu kepada CNA.
Sementara itu, Wahyu juga mencatat bagaimana profil korban perdagangan manusia di wilayah tersebut telah berkembang.
Di masa lalu, sebagian besar korban adalah perempuan dari latar belakang ekonomi dan pendidikan rendah, yang diperdagangkan untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, terutama di Timur Tengah.
Namun sekarang, sebagian besar korban perdagangan manusia di Indonesia adalah kaum muda dengan kualifikasi pendidikan tinggi.
Wahyu mengatakan pergeseran tren ini didorong oleh pandemi Covid-19 ketika banyak orang kehilangan pekerjaan.
Dia mengatakan kepada CNA bahwa salah satu taktik yang digunakan oleh perekrut untuk memikat korban adalah dengan mengklaim bahwa mereka akan bekerja sebagai programmer di industri teknologi digital padahal sebenarnya, mereka bekerja di bisnis ilegal.
Laporan dari KBRI Phnom Penh menyebutkan bahwa para pemuda ini dijanjikan kesempatan kerja di luar negeri dengan persyaratan yang sangat minim, atau bahkan tidak ada sama sekali.
Mereka biasanya direkrut melalui media sosial atau ditawarkan pekerjaan oleh perekrut yang sudah mereka kenal, termasuk tetangga, teman, dan bahkan anggota keluarga.
Bagi Slamet, lulusan manajemen yang pernah bekerja di sebuah bank di Jawa Timur, dia didekati oleh seorang perekrut di sebuah kedai kopi.
“Ketika perekrut mendekati saya, saya sudah menganggur selama empat bulan setelah kontrak saya di sebuah perusahaan perbankan berakhir,” kata Slamet kepada CNA.
Dengan tren penawaran yang dilakukan di media sosial, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Anis Hidayah menilai tingkat kejahatan perdagangan manusia di Indonesia sudah dalam keadaan darurat.
Anis mengatakan bahwa warga negara Indonesia menjadi semakin rentan terhadap perdagangan manusia, situasi yang diperburuk oleh rendahnya tingkat literasi digital negara ini.
“Dulu, korbannya lulusan SD dan SMP, sekarang banyak yang sudah lulus S1 atau S2, dan ada yang dipulangkan oleh Kementerian Luar Negeri, ada yang jadi influencer,” kata Anis kepada CNA.