Swedia Ganti Buku Sekolah dengan Komputer pada 2009, Sekarang Kembali ke Buku
Pada tahun 2009, Swedia langsung memodernisasi sekolahnya dengan mengganti buku teks dengan komputer dan perangkat digital lainnya.
Idenya saat itu adalah untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang digerakkan oleh teknologi.
Pemerintah Swedia memperkirakan bahwa penggunaan komputer dan tablet akan membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah diakses. Secara bertahap, buku teks kertas menghilang karena versi digital tampak lebih murah dan lebih mudah beradaptasi untuk masa depan.
Tujuannya kala itu sangat jelas: membekali siswa dengan keterampilan yang mereka butuhkan di era teknologi tinggi.
Namun seiring berjalannya waktu, menjadi jelas bahwa peralihan ini bukannya tanpa kendala.
Mengutip laporan Indian Defence Review, Kamis (16/1/2025), setelah 15 tahun, Swedia berubah pikiran karena beberapa masalah besar muncul.
Penelitian menunjukkan bahwa membaca di layar, terutama yang memiliki cahaya terang, dapat menyebabkan lebih banyak ketegangan mata dan kurang fokus dibandingkan dengan buku kertas.
Ditambah lagi, memahami apa yang Anda baca dan mengingatnya akan sulit saat Anda menatap layar.
Salah satu keluhan terbesar adalah betapa perangkat digital dapat mengganggu.
Banyak siswa teralihkan oleh game atau menjelajahi web selama pembelajaran di kelas, alih-alih fokus pada pelajaran.
Obsesi terhadap layar ini juga menimbulkan tanda-tanda tentang keterampilan sosial dan rentang perhatian di lingkungan sekolah. Orang tua dan guru cukup vokal tentang masalah ini; banyak orang tua khawatir tentang anak-anak mereka yang menggunakan komputer untuk hal-hal selain belajar.
Untuk mengatasi masalah ini, Swedia mengalokasikan 104 juta euro (lebih dari Rp1,7 triliun) untuk mengembalikan buku ke ruang kelas mulai tahun 2022 hingga 2025.
Itu adalah sejumlah besar uang yang ditujukan untuk memastikan setiap siswa akhirnya mendapatkan buku teks kertas untuk setiap mata pelajaran.
Uang tersebut juga akan digunakan untuk kampanye yang membantu sekolah beralih kembali ke cara belajar tradisional.
Ini bukan tentang membuang perangkat digital sama sekali, tetapi lebih kepada menemukan titik yang tepat di mana teknologi mendukung teknik belajar dasar alih-alih mengambil alih sepenuhnya.
Pejabat Swedia telah memperhatikan penurunan keterampilan utama seperti membaca dan menulis di kalangan siswa—terutama karena mereka telah terpaku pada layar sejak mereka masih kecil.
Pemerintah sekarang melihat ini sebagai langkah yang salah—menyingkirkan metode tradisional terlalu cepat tanpa memikirkan konsekuensi jangka panjang.
Mengembalikan buku tidak berarti mereka membuang teknologi ke luar jendela; itu hanya berarti mereka akan menggunakan alat digital dengan lebih bijak mulai sekarang.
Buku masih bagus untuk mencampur gaya mengajar atau mendapatkan sumber daya daring tetapi akan digunakan dengan hemat untuk ke depannya.
Pilihan Swedia menyoroti betapa pentingnya menemukan keseimbangan dalam pendidikan—suatu hal yang relevan di seluruh dunia karena sekolah di mana pun mencoba memadukan teknologi dengan fondasi pendidikan yang kokoh.
Ketika negara Nordik ini kembali ke metode tradisional, ini merupakan tanda peringatan sekaligus contoh bagi negara lain yang mencari keselarasan antara inovasi dan tradisi dalam sistem pendidikan di seluruh dunia.