Setara Institute Yakin Kapolri Bisa Tuntaskan Kasus Penembakan Polisi di Solok dan Semarang
JAKARTA, iNews.id - Setara Institute meyakini Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dapat menuntaskan kasus penembakan yang melibatkan oknum polisi di Solok Selatan, Sumatra Barat (Sumbar) dan Semarang, Jawa Tengah (Jateng). Sebab, Sigit sudah berpengalaman menangani kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
"Setara Institute percaya Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mampu menangani, mengurai dan menyelesaikan kasus-kasus ini secara tuntas, transparan dan berkeadilan, karena memiliki pengalaman menangani kasus serupa, seperti kasus penembakan Duren Tiga (kasus pembunuhan Brigadir J)," ujar Peneliti Setara Institute, Ikhsan Yosarie dalam keterangannya, Selasa (26/11/2024).
Dia mendorong Polri mengambil langkah tegas untuk memastikan peristiwa penggunaan senjata api secara melawan hukum tak terulang. Oleh karena itu, Setara merekomendasikan lima hal.
Pertama, kata Ikhsan, mendorong Kapolri menindak tegas jajarannya yang menggunakan senjata api berlebihan di luar peruntukan. Dia mengingatkan penggunaan senjata api telah diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 34/169 mengenai Kode Etik untuk Petugas Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials) dan Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) yang diadopsi UN Congress (1990).
"Ketentuan internasional tersebut menekankan prinsip legalitas, nesesitas (keperluan), proporsionalitas, dan akuntabilitas dalam penggunaan senjata api," kata Ikhsan.
Kedua, menjalankan standar operasi prosedur (SOP), termasuk mengatasi celah pemahaman aparat terkait penggunaan senjata api. Selain regulasi internasional, penggunaan senjata api juga diatur dalam Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.
"Pada Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 48 regulasi tersebut, telah diatur ketentuan, kondisi, dan prinsip penggunaan senjata api yang linear dengan aturan internasional," tandasnya.
Ketiga, internalisasi prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) pada sumber daya manusia (SDM) Polri. Menurutnya, insiden penembakan ini memperlihatkan polisi, terutama di daerah, belum satu padu mendorong transformasi Polri untuk mendukung Indonesia Emas 2045.
"Sebagaimana komitmen Kapolri dan jajaran di tingkat Mabes Polri, yang mendorong supremasi hukum dan penegakan hukum yang efektif dan berkeadilan sebagai menjadi prasyarat bagi tercapainya Indonesia 2045," kata dia.
Rekomendasi keempat, kata Ikhsan, isu kesehatan mental polisi perlu menjadi perhatian pimpinan Polri agar mencegah penggunaan senjata api berlebihan. Temuan Setara Institute dalam studi Desain Transformasi Polri 2024, lanjutnya, kesehatan mental para anggota Polri kurang mendapat perhatian dan pembinaan.
"Kondisi ini rentan memengaruhi anggota kepolisian dalam menjalan kinerjanya, sehingga berpotensi memicu tindakan-tindakan yang tidak proporsional," ujar dia.
Kelima, kata Ikhsan, minimnya perhatian atas kesejahteraan anggota Polri berpotensi dan secara nyata mengakibatkan berkembangnya bisnis-bisnis ilegal, termasuk jasa pengamanan sebagaimana menjadi latar belakang penembakan di Solok Selatan.
"Keterbukaan motif penembakan yang pada pokoknya adalah bisnis pengamanan dan kemungkinan keterlibatan dalam bisnis ilegal, adalah fenomena gunung es yang sesungguhnya banyak terjadi di berbagai tempat. Kapolri harus menempatkan masalah ini sebagai prioritas penataan institusi Polri yang dituntut melakukan transformasi institusi guna mendukung kemajuan Indonesia 2045," kata dia.