Suku Baduy Jangan Dijadikan Sekedar Tontonan dan Eksploitasi
Oleh : Ratu Adnindha Agnienqie ARNF
LEBAK, iNewsLebak.id - Warga Negara Indonesia sudah pasti kenal Suku Baduy, yakni sebuah komunitas suku sunda lama yang masih kental mempertahankan khasanah budaya. Suku Baduy ini berada di Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Suku Baduy ini sejak dahulu menganut hukum adat 'Pikukuh Karuhun', yang berarti pemegang teguh ajaran leluhur.
Keberadaan Baduy Luar sebagai Pangaping dan Baduy Dalam sebagai Panangtu. Ini adalah kolaborasi tatanan adat di kawasan suku Baduy yang saling mendukung dan memperkuat kesucian local wisdom (kearifan lokal).
Hanya saja perkembangan zaman telah menyebabkan tak ada lagi penyekat laju informasi lintas batas peradaban. Era digital telah mengekspansi sekat-sekat sakral, sehingga teknologi banyak menggeser perilaku dan juga khasanah budaya.
Pemerintah daerah (Pemda) Kabupaten Lebak telah menjadikan kawasan Baduy sebagai destinasi wisata budaya. Dan para pemburu destinasi lintas provinsi dan negara pun berdatangan ke kawasan Baduy, itu sebuah keberhasilan dalam promosi budaya.
Kendati mereka yang datang sangat bervariasi, ada yang murni sekedar ingin tahu, ada yang bertujuan eksplorasi dan riset, dan tentunya tidak sedikit mereka ini yang nyambi berburu untuk pembuatan industri konten.
Perburuan Konten Baduy
Dibalik ramai berdatangannya pengunjung wisata, pegiat konten kreator pun kini banyak berburu spot ke area Baduy, tentu mereka ingin menayangkan budaya, perilaku adat dan juga kehidupan sosialnya.
Menurut asumsi penulis, di satu sisi mereka secara tidak langsung telah membantu membangun penyebaran informasi soal suku Baduy dan khasanah kebudayaannya. Namun di lain sisi, kehadiran mereka justru berdampak penggiringan pada arus perubahan stagnasi kultur budaya setempat, tentunya pada kehidupan suku Baduy itu sendiri.
Diantaranya banyak kasus sejumlah perempuan dari suku Baduy itu kerap dijadikan praktik eksploitasi untuk meraih subscribe dan viewer, terutama mereka gadis cantik Baduy, dan itu merupakan fenomena yang masih terus berjalan.
Memang tak bisa dipungkiri, kemajuan teknologi telah mengubah pola pikir generasi muda Baduy, sementara lembaga adat belum mampu memberlakukan sanksi tegas yang efektif terhadap kondisi itu.
Di sini ada baiknya para pegiat konten kreator menghormati privasi dan hak cipta, menghindari komersialisasi budaya, memahami sensitivitas dan batasan budaya, termasuk menghormati aturan adat setempat.
Dilansir dari akun TikTok yang bernama rumsyah.shaa https://vt.tiktok.com/ZS6mWmbUj/ gadis Baduy oleh salah satu konten kreator sekaligus MUA yang bernama Eghamakeup2502 diundang untuk dijadikan model, selanjutnya disiarkan di stasiun televisi nasional. Sehingga dalam pandangan umum, kalangan muda Baduy diasumsikan mulai terbiasa hal-hal yang berbau modern yang kontra budayanya. Kondisi ini lama kelamaan berpotensi mengikis khasanah kebudayaan Baduy itu sendiri.
Juga dari akun tiktok vm.co https://vt.tiktok.com/ZS6m75tL6/, di akun itu terlihat gadis Baduy bernama Sarti dan Vilmei, seorang konten kreator membuat promosi deodoran, nampak keduanya saling kolaborasi.
Dampak Eksploitasi
Kini hampir semua kalangan muda Baduy Luar sudah banyak memiliki gadget dan akun media sosial, bahkan diantaranya menjadi konten kreator. Ini tentu dilakukan lantaran mencontoh apa yang dilakukan para pengunjung. Bahkan mereka banyak yang diajarkan cara membuat konten, diajak kerjasama untuk promosi pada suatu produk, dan diantara mereka ada yang dijadikan endorse untuk iklan tertentu.
Sehingga beberapa dari kalangan anak muda Baduy Luar sudah terbiasa bergaul dengan hal berbau modern. Ini fakta yang sudah terjadi, kehadiran para wisatawan sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku pada suku asli Baduy.
Dari hasil penelitian penulis dengan menggunakan metode penelitian hukum kualitatif, khususnya dalam pengumpulan data, dan wawancara bersama Jaro Sami dari Cibeo Baduy Dalam. Bahwa, ternyata banyak juga warga Baduy Dalam yang menyimpan uang di Bank, dengan ATM nya dititip di teman atau saudara yang berada di Baduy Luar, ini miris.
Sehingga asumsi penulis, warga Baduy dalam yang dulu terkenal sangat kental tradisi dan menolak adanya modernisasi, kini sedikit demi sedikit konsistensinya mulai bergeser mengikuti pola di dunia luar.
Semua itu termasuk tantangan dan kendala dalam hukum adat setempat, yakni perubahan sosial dan modernisasi, tentu dipastikan lebih mengarah pada resiko eksploitasi budaya. Sehingga secara perlahan menimbulkan degradasi pada pola perilaku yang seharusnya dipertahankan.
Negara Harus Hadir
Dikutip dari Jurnal Unes Law Review Karya Ibnu Mazjah bahwa, Hukum Adat Sebagai Representasi Sistem Hukum Asli Indonesia, hukum adat dipandang sebagai pilar yang mencerminkan nilai-nilai lokal dan tradisi yang diwariskan secara turun temurun, sekaligus diakui secara konstitusional sebagai bagian penting dari kerangka hukum nasional. Artinya, kultur budaya itu akan disegani jika memiliki sanksi, dan tentunya sanksi di sini lebih bersifat moral dan sosial.
Guna melindungi keberadaan kultur budaya peninggalan leluhur, atau suku bangsa yang masih mempertahankan nilai budaya peninggalan leluhurnya, tentu harus ada keterlibatan negara.
Karena sejatinya, keberadaan budaya dan adat istiadat yang masih lekat dipertahankan adalah bagian dari jati diri identitas suatu suku bangsa. Dan suku Baduy adalah salah satu entitas suku Sunda tua yang tengah berharap jati dirinya mendapat pengayoman ekstra.
Di sini Pemerintah harus terlibat langsung. Diantaranya menetapkan kawasan hutan dan perkampungan masyarakat Baduy sebagai kawasan khusus yang benar-benar dijaga kelestarian alamnya serta dilindungi adat istiadatnya, terutama melalui pembuatan regulasi yang tepat.
Selain itu, pemerintah juga harus terlibat langsung membuka jalur distribusi bagi perdagangan hasil bumi dan olah karya orang Baduy. Disamping melindungi dan membuka jaringan pasar bagi produk-produk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) mereka. Tentunya itu bisa dilakukan dengan tanpa mengganggu tatanan tradisi dan kearifan lokal mereka.
Eksistensi suku Baduy bukan untuk dijadikan tontonan, apalagi dijadikan konten hiburan semu. Mereka adalah umat manusia yang butuh perlindungan utuh dalam menjalankan ritual budaya dalam kehidupan sehari-harinya, tentunya tanpa terganggu hiruk pikuk kalangan pengeksploitasi.
Penutup
Kita tahu, produk dari kebudayaan adalah khasanah seni, estetika dan budi pekerti, sedangkan produk dari peradaban adalah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Fenomena yang terjadi di Baduy perlu pemikiran bersama. Lembaga adat dan Pemda perlu menyederhanakan Peraturan Daerah soal adat, atau pembaharuan regulasi terkait perlindungan masyarakat adat tersebut, yang tujuannya menjaga martabat pada local wisdom, seperti halnya adat istiadat di suku Baduy.
Kita tidak menolak program pariwisata budaya sebagai aset pemerintah daerah dalam mendongkrak ekonomi kawasan, namun kita juga berharap khasanah budaya dan kultur tidak dirusak oleh mereka yang berwisata dengan tujuan eksploitasi.
Penulis juga mengapresiasi Pemda Lebak yang telah menjadikan kawasan Baduy sebagai area blank spot (zero sinyal), baik untuk akses telepon seluler maupun internet, itu adalah salah satu upaya nyata. Namun tidak hanya itu, di sini dibutuhkan pula naluri empati dari para pegiat wisata terhadap tatanan kearifan lokal setempat yang harus dijaga privasinya, khususnya di kawasan Baduy.
Karena jika ditelisik lebih dalam, sungguh dari mereka itu ternyata kita bisa banyak memetik pelajaran berharga tentang arti kehidupan, tentang adab tatakrama terhadap alam dan juga ajaran kasih sayang terhadap sesama makhluk Tuhan.
Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum di Pasca Sarjana, Universitas Mathla'ul Anwar (UNMA) Banten