Menjaga Kredibilitas Bank Sentral

Menjaga Kredibilitas Bank Sentral

Nasional | sindonews | Minggu, 19 Januari 2025 - 05:45
share

Adhitya Wardhono, PhD

Dosen dan peneliti ekonomi Jurusan Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis-Universitas Jember. Koordinator Kelompok Riset Behavioral Economics on Monetary, Financial, and Development Policy” (KeRis Benefitly) - Universitas Jember.

WACANA kredibilitas bank sentral selalu diarahkan pada aras pemikiran kokohnya konstruksi menjaga stabilitas ekonomi sebuah negara. Sederhananya, ekspektasi masyarakat terhadap kebijakan moneter bisa memengaruhi dinamika ekonomi, terutama ketika suku bunga mendekati batas bawah efektif (effective lower bound/ELB). Ketika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap bank sentral, ekspektasi inflasi bisa menjadi tidak terjangkar. Maka ikutannya adalah menciptakan risiko spiral deflasi atau inflasi yang tak terkendali. Dalam konteks Indonesia, pentingnya kredibilitas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter sangat relevan, mengingat tantangan ekonomi terus berkembang, baik di level domestik maupun global.

Situasi ekonomi yang tidak menentu telah Indonesia hadapi, seperti periode taper tantrum pada tahun 2013 lalu. Masa itu, kecenderungan fenomena pelemahan nilai tukar rupiah memicu kenaikan inflasi yang relatif signifikan. BI merespons dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif untuk mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar. Langkah ini menunjukkan pentingnya kebijakan moneter tegas dalam membangun kepercayaan masyarakat terhadap kemampuan bank sentral. Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Seiring berjalannya waktu, tantangan baru muncul, terutama ketika pandemi COVID-19 melanda. BI menurunkan suku bunga acuan hingga ke level terendah dalam sejarah, yaitu 3,5, untuk mendorong pemulihan ekonomi. Langkah ini mendekati batas bawah efektif, yang berarti bahwa ruang untuk manuver kebijakan moneter konvensional menjadi semakin terbatas.

Dalam kondisi seperti ini, kredibilitas bank sentral menjadi semakin penting. Ketika ekspektasi inflasi tetap terjangkar, kebijakan moneter yang tidak konvensional, seperti quantitative easing dan forward guidance, bisa menjadi alat yang efektif. Namun, jika masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap kemampuan bank sentral untuk mencapai target inflasi, langkah-langkah tersebut bisa kehilangan efektivitasnya. Dalam kasus Indonesia, BI telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga ekspektasi inflasi tetap terkendali, seperti melalui publikasi laporan ekonomi dan komunikasi kebijakan yang transparan. Namun, efektivitas upaya ini sangat bergantung pada seberapa cermat dan taktis BI bisa membangun persepsi publik bahwa langkah-langkahnya tepat dan akan berhasil.

Ekspektasi inflasi yang terjangkar adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global. Tantangan ini semakin relevan mengingat tekanan inflasi yang sering kali bersumber dari luar negeri, seperti kenaikan harga minyak dunia atau gangguan pada rantai pasok global. Ketika tekanan eksternal seperti ini muncul, masyarakat cenderung lebih sensitif terhadap langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh BI. Jika kebijakan tersebut tidak diiringi dengan komunikasi yang efektif, risiko ekspektasi inflasi menjadi tidak terjangkar akan meningkat, yang pada akhirnya bisa memperburuk kondisi ekonomi.

Keberhasilan BI dalam menjaga kredibilitasnya juga tercermin dari bagaimana ia menangani dinamika nilai tukar rupiah. Indonesia sering kali menghadapi volatilitas nilai tukar yang tinggi. Beberapa tahun terakhir, BI telah berhasil menjaga stabilitas rupiah melalui kombinasi intervensi pasar, pengelolaan cadangan devisa, dan kebijakan suku bunga. Namun, stabilitas nilai tukar bergantung pada langkah teknis dan persepsi pasar terhadap kemampuan BI mengelola tekanan eksternal. Jika ekspektasi terhadap stabilitas rupiah terjaga, volatilitas pasar bisa diminimalkan, sehingga menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Namun, tantangan yang dihadapi BI tidaklah sederhana. Ketika dunia menghadapi krisis global seperti pandemi COVID-19, tantangan kredibilitas menjadi lebih kompleks. Penurunan suku bunga secara drastis dan kebijakan tidak konvensional sering menimbulkan kekhawatiran, seperti risiko inflasi di masa depan atau sulitnya bank sentral menarik kembali likuiditas yang telah disuntikkan ke perekonomian.

Dalam konteks Indonesia, kebijakan moneter longgar selama pandemi telah membantu mendorong pemulihan ekonomi, tetapi juga menciptakan tantangan baru terkait stabilitas harga di masa depan. Oleh karena itu, langkah-langkah komunikasi kebijakan yang efektif menjadi sangat penting untuk mengelola ekspektasi masyarakat dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Komunikasi kebijakan yang efektif adalah salah satu pilar utama menjaga kredibilitas bank sentral. Beberapa tahun terakhir, BI telah meningkatkan transparansi kebijakannya melalui berbagai saluran komunikasi, seperti laporan triwulanan, konferensi pers, dan dialog dengan pelaku pasar. Langkah-langkah ini membantu membangun persepsi bahwa BI adalah lembaga yang bisa diandalkan dalam menjaga stabilitas ekonomi. Namun, tantangan tetap ada, terutama ketika menghadapi situasi yang sangat tidak pasti. Dalam kondisi seperti ini, penting bagi BI untuk tidak hanya berfokus pada komunikasi yang jelas, tetapi juga pada tindakan yang konsisten dengan pesan yang disampaikan. Jika ada kesenjangan antara apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan, risiko kehilangan kredibilitas akan meningkat.

Keberhasilan BI dalam menjaga kredibilitasnya akan sangat bergantung pada kemampuannya untuk beradaptasi dengan kondisi yang terus berubah. Ketika kredibilitas bank sentral menurun, ekspektasi inflasi cenderung menjadi lebih adaptif, Ini bisa memperburuk siklus bisnis. Untuk Indonesia, menjaga kredibilitas BI adalah syarat utama untuk mempertahankan stabilitas ekonomi. Terutama ketika menghadapi risiko seperti tekanan inflasi impor atau fluktuasi nilai tukar. Langkah-langkah kebijakan yang inovatif, komunikasi yang efektif, dan fokus pada tujuan jangka panjang adalah elemen kunci yang harus terus diperkuat.

Pengelolaan ekspektasi masyarakat secara hati-hati adalah satu tantangan terbesar yang dihadapi bank sentral mana pun. Ketika ekspektasi inflasi tidak terjangkar, dampaknya bisa menyebar ke berbagai sektor ekonomi, menciptakan ketidakpastian yang lebih besar. Dalam beberapa kasus, ekspektasi inflasi yang tidak terkendali bisa menyebabkan spiral harga yang semakin sulit dihentikan. Dalam konteks Indonesia, langkah-langkah untuk memastikan stabilitas harga perlu disertai dengan kebijakan struktural yang mendukung daya saing ekonomi. Misalnya, penguatan sektor produksi dalam negeri diharapkan membantu mengurangi ketergantungan impor, sehingga meminimalkan tekanan inflasi eksternal.

Selain itu, integrasi kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal juga menjadi faktor penting menjaga kredibilitas bank sentral. Ketika kebijakan fiskal tidak sejalan dengan tujuan moneter, risiko meningkatnya defisit anggaran atau utang negara bisa menciptakan tekanan ekonomi tambahan. Koordinasi dan sinergitas antara BI dan pemerintah menjadi kunci untuk mencapai tujuan bersama, yaitu stabilitas ekonomi dan keberlanjutan pertumbuhan.

Mengelola ekspektasi masyarakat secara hati-hati dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil didukung oleh data dan analisis kuat. BI bisa terus memainkan perannya sebagai penopang utama stabilitas ekonomi nasional. Menjaga ekspektasi inflasi tetap terjangkar bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga seni membangun kepercayaan.

Ketika kepercayaan masyarakat terhadap BI tinggi, Indonesia memiliki peluang lebih besar untuk mencapai pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Keberhasilan ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga meletakkan dasar kuat untuk masa depan yang lebih stabil. Dengan kredibilitas yang terjaga, BI bisa memastikan bahwa setiap kebijakan yang diambil memberikan dampak positif bagi seluruh lapisan masyarakat.

Topik Menarik