Weekend Story: Membongkar Skandal Dokter PPDS, Somnofilia atau Modus Kejahatan?

Weekend Story: Membongkar Skandal Dokter PPDS, Somnofilia atau Modus Kejahatan?

Nasional | inews | Minggu, 13 April 2025 - 00:01
share

JAKARTA, iNews.id - Kasus yang melibatkan seorang dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Jawa Barat menggemparkan dunia medis. Priguna Anugerah Pratama memerkosa keluarga pasien dan dua pasien lainnya dengan modus operandi pembiusan. 

Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan mendalam tentang keamanan, etika di lingkungan medis serta institusi pendidikan kesehatan dan membuka celah besar dalam sistem pengawasan. 

Seorang dokter residen, yang masih berada dalam tahap belajar dan seharusnya bekerja di bawah pengawasan ketat dokter senior, ternyata mampu menyalahgunakan posisinya hingga berujung pada tindakan kriminal. 

Pihak rumah sakit memiliki tanggung jawab besar untuk menjelaskan bagaimana kelalaian ini dapat terjadi. Terlebih lagi, peran institusi pendidikan seperti Universitas Padjadjaran (Unpad) yang mendidik calon-calon dokter spesialis, harus turut disoroti. 

Infografis Dokter PPDS. (Foto: iNews.id). 

Protokol apa yang mungkin terabaikan? Apakah ada tanda-tanda perilaku menyimpang yang sebelumnya tidak direspons dengan tepat? Semua ini menjadi pertanyaan mendesak yang membutuhkan jawaban.

Unpad telah bertindak cepat dengan memberhentikan Priguna Anugerah Pratama dari program PPDS. Tindakan ini saja dinilai tidak cukup untuk memulihkan kepercayaan publik. 

RSHS Bandung juga harus mengambil langkah konkret guna memastikan kejadian ini tidak terulang, seperti meningkatkan pengawasan terhadap dokter residen dan memperbaiki sistem keamanan serta edukasi etika di lingkungan kerja.

Kejadian ini menunjukkan pentingnya reformasi sistemik. Selain memprioritaskan kompetensi teknis, program pendidikan dokter spesialis harus menanamkan nilai-nilai etika, moral dan empati yang kokoh. Para calon dokter tidak hanya dituntut untuk menjadi profesional yang kompeten, tetapi juga individu yang memiliki integritas tinggi.

Pada sisi hukum, Priguna Anugerah Pratama telah ditahan sejak Maret 2025 dan dijerat dengan Pasal 6 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang dapat berujung pada hukuman penjara hingga 12 tahun. 

Selain itu, polisi masih terus mendalami kasus ini dengan memeriksa sejumlah saksi. Transparansi dalam proses hukum sangat penting untuk memastikan keadilan bagi para korban dan memberikan hukuman setimpal kepada pelaku jika terbukti bersalah.

Dampak kasus ini melampaui individu-individu yang terlibat langsung. Kepercayaan publik terhadap dunia medis kini berada di titik kritis. 

Rumah sakit sebagai tempat yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan kepada pasien serta keluarga mereka, namun, kasus ini menunjukkan bahwa tempat yang seharusnya menjadi sumber pengobatan dapat menjadi sumber trauma bagi beberapa pihak.

Peran pemerintah, asosiasi profesi medis dan seluruh masyarakat sangat diperlukan untuk mereformasi sistem yang ada. Hal ini melibatkan penerapan prosedur pengawasan yang lebih ketat, pelatihan ulang tenaga medis dan pembentukan lingkungan kerja yang aman serta bebas dari pelecehan atau kekerasan.

Langkah-langkah perbaikan harus dilakukan tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk memastikan perlindungan bagi pasien dan tenaga medis lainnya di masa depan. 

Kepercayaan publik terhadap dunia medis harus dipulihkan, karena kepercayaan merupakan fondasi pelayanan kesehatan yang berkualitas. 

Kelainan Seksual Somnofilia ?

Fakta mengejutkan terungkap dalam penyidikan kasus pemerkosaan yang melibatkan dokter PPDS anestesi Priguna Anugerah Pratama. Tersangka ternyata memiliki kelainan seksual, yakni senang berfantasi melihat orang dalam kondisi tidak sadarkan diri.

Fakta baru ini diungkap Direktur Kriminal Umum Polda Jabar Kombes Pol Surawan berdasarkan hasil penyidikan. “Fantasinya senang melihat orang yang pingsan,” ujar Kombes Surawan saat dikonfirmasi, Kamis (10/4/2025).

Diketahui, somnofilia, merupakan istilah yang berasal dari gabungan bahasa Latin "somnus" yang berarti tidur dan bahasa Yunani "philia" yang merujuk pada cinta atau ketertarikan. 

Secara sederhana, somnofilia merupakan paraphilia di mana seseorang merasakan gairah dan ketertarikan seksual yang kuat terhadap aktivitas seksual dengan orang yang tidak berdaya karena sedang tidur atau tidak sadar. 

Kondisi ini sering kali diasosiasikan dengan istilah "Sleeping Beauty Syndrome" karena adanya kemiripan narasi tentang membangunkan seseorang dari tidur dengan ciuman, meskipun dalam konteks somnofilia, implikasinya jauh lebih kompleks dan berpotensi problematik.

Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menyoroti fokus penyidikan Polda Jawa Barat (Jabar) dalam kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan dokter residen anestesi, Priguna Anugerah Pratama (inisial P). 

Alih-alih berkutat pada dugaan kelainan seksual somnofilia yang diungkap polisi, Reza menilai pihak kepolisian seharusnya lebih fokus pada pembuktian tidak adanya persetujuan korban dan penggunaan kekerasan sebagai modus operandi pelaku.

Sebelumnya, polisi mengungkapkan bahwa Priguna diduga memiliki kelainan seksual somnofilia, yakni ketertarikan seksual pada orang yang tidak sadar. Namun, Reza mempertanyakan relevansi fokus tersebut dalam proses hukum.

"Coba tanya ke P pada momen apa dia pertama kali tertarik secara seksual pada target? Dia pertama kali bernafsu pada target ketika target sedang melakukan apa?" ujar Reza, kepada iNews.id Sabtu (12/4/2025). 

Dia menjelaskan bahwa informasi yang beredar menyebutkan Priguna mengelabui korbannya saat sadar, baru kemudian menggunakan bius untuk melancarkan aksinya.

"Alur perilaku sedemikian rupa menunjukkan bahwa P sudah mengincar target, artinya sudah mengalami keterangsangan seksual, ketika si target berada dalam keadaan sadar. Dengan kata lain, keterangsangan seksual P mirip dengan orang kebanyakan," kata Reza.

Menurutnya, kondisi tidak sadar korban bukanlah pemicu utama gairah Priguna, melainkan sebuah cara yang diciptakan pelaku dengan kekerasan agar dapat melakukan aksinya tanpa perlawanan. "Menggunakan kekerasan agar target bisa disetubuhi tanpa perlawanan, itu modus biasa dalam perkosaan. Perkosaan yang brutal dilancarkan bahkan dengan membuat target pingsan terlebih dahulu," ucapnya.

Reza pun mempertanyakan mengapa polisi justru terfokus pada perdebatan mengenai ketertarikan seksual pelaku. "Polisi, selaku otoritas penegakan hukum, seharusnya berkonsentrasi pada tidak adanya persetujuan (consent) dari orang-orang yang P setubuhi danpada penggunaan kekerasan yang P jadikan sebagai modusnya. Di situlah letak kerja hukumnya," katanya.

Dia menekankan bahwa Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menempatkan kekerasan seksual sebagai kejahatan serius, sehingga pelaku harus dihukum seberat-beratnya. 

"Semestinya itulah target penegakan hukum. Polisi, dengan kata lain, sepatutnya memakai cara berpikir retributif," katanya.

Reza juga mengkritisi langkah Polda Jabar yang justru membuka celah bagi tersangka untuk mendapatkan keringanan hukuman melalui narasi kelainan seksual. Ia menilai pendekatan ini lebih bersifat rehabilitatif daripada retributif, seolah tindakan pelaku disebabkan oleh kelainan yang perlu diobati. Padahal, jika kelainan itu benar ada, narasi tersebut seharusnya dibangun oleh pihak pengacara tersangka.

"Jadi, kendati rencana melibatkan disiplin non hukum ke dalam kerja penegakan hukum adalah positif, namun diangkatnya narasi tentang kelainan seksual terkesan sebagai cara Polda Jabar menambah bobot dramatis kasus ini. Cara itu--salah kaprah--bisa kontraproduktif atau bertentangan dengan ekspektasi publik bahwa pelaku mesti dihukum seberat-beratnya jika ia divonis bersalah," ucapnya.

Polda Jabar hingga saat ini masih terus melakukan penyidikan terkait kasus dugaan pemerkosaan yang dilakukan oleh dokter residen tersebut. Publik menanti perkembangan selanjutnya dan berharap keadilan dapat ditegakkan bagi para korban.

Topik Menarik