Menguji Diplomasi Prabowo lewat Gaza
Eko ErnadaDosen Hubungan Internasional, Universitas Jember
KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza, khususnya anak-anak yatim, ke Indonesia menandai langkah awal kebijakan luar negeri yang ambisius sekaligus kontroversial. Dibalut narasi solidaritas kemanusiaan, kebijakan ini justru menimbulkan pertanyaan serius tentang kesiapan pemerintah, arah diplomasi Indonesia, dan konsistensi prinsip-prinsip kebijakan luar negeri. Apakah ini refleksi dari komitmen moral, atau sekadar manuver simbolik yang belum matang secara institusional?
Dari perspektif realisme politik, tak ada kebijakan luar negeri yang sepenuhnya netral. Tindakan Indonesia dalam kasus Gaza, betapapun berniat baik, tetap akan di bukan sekadar memindahkan anak-anak Palestina dari zona konflik, tetapi memberi mereka pemulihan yang layak. Ini menuntut ketersediaan psikolog terlatih, pendamping berbahasa Arab, hingga program pendidikan inklusif yang peka budaya. Tanpa kesiapan tersebut, evakuasi bisa menjadi relokasi problem, bukan solusi kemanusiaan.
Di mata dunia, keberhasilan misi ini bisa mengangkat profil Indonesia sebagai aktor kemanusiaan yang kredibel. Tetapi jika gagal—baik karena ketidaksiapan teknis maupun reaksi sosial dalam negeri—langkah ini akan tercatat sebagai simbolisme politik yang merusak legitimasi global Prabowo di masa awal kepemimpinannya.
Pemerintah seharusnya belajar dari pengalaman negara-negara seperti Jerman dan Kanada. Di sana, kebijakan pengungsi dijalankan dengan pendekatan lintas sektor dan berbasis hak asasi manusia yang kuat. Indonesia bisa mengadopsi prinsip-prinsip tersebut dengan penyesuaian lokal—asal ada keseriusan membangun kapasitas, bukan hanya merespons isu global dengan pencitraan moral.
Keterlibatan dalam isu Palestina memang bisa menjadi batu loncatan bagi Indonesia untuk menunjukkan peran sebagai middle power yang aktif dan bermoral. Namun posisi itu hanya dapat dicapai jika langkah-langkah kemanusiaan ditopang oleh keteguhan prinsip dan kemampuan teknokratis. Diplomasi Indonesia harus mencerminkan sinergi antara kebijakan luar negeri dan kebijakan domestik yang saling menopang.
Perlu juga disadari bahwa isu pengungsi, terutama anak-anak, tidak semata soal logistik dan politik, tapi juga menyangkut nilai dasar bangsa. Jika Indonesia ingin tampil sebagai pelindung yang bermartabat di mata dunia, maka kepekaan sosial dan empati publik harus dibangun bersama. Pemerintah tak cukup hanya menyiapkan fasilitas dan kebijakan; ia juga harus menumbuhkan ruang dialog dan solidaritas di tengah masyarakat. Pendidikan publik mengenai pentingnya perlindungan pengungsi dan nilai kemanusiaan universal menjadi penting, agar resistensi yang mungkin muncul tidak berkembang menjadi sentimen negatif yang kontraproduktif.
Selain itu, diplomasi Indonesia juga harus mampu membedakan mana kebijakan yang strategis dan mana yang bersifat reaksioner. Langkah kemanusiaan tidak boleh menjadi instrumen untuk menutup kritik, apalagi dijadikan pelarian dari masalah domestik. Kredibilitas kebijakan luar negeri sangat ditentukan oleh koherensi antara nilai yang diusung dan cara pelaksanaannya di lapangan. Dalam konteks ini, langkah evakuasi Gaza akan benar-benar menguji apakah Prabowo memiliki visi diplomasi yang bukan hanya responsif, tetapi juga bertanggung jawab dan berjangka panjang. bagi Indonesia untuk menunjukkan peran sebagai middle power yang aktif dan bermoral. Namun posisi itu hanya dapat dicapai jika langkah-langkah kemanusiaan ditopang oleh keteguhan prinsip dan kemampuan teknokratis. Tanpa itu, niat baik pun akan berujung pada kelelahan politik dan diplomasi yang stagnan.
Diplomasi Prabowo lewat Gaza adalah ujian sejati: apakah Indonesia mampu memadukan empati dan strategi, atau justru terjebak dalam simbolisme tanpa substansi. Dalam tatanan dunia yang penuh kecurigaan, niat baik saja tak cukup. Butuh ketegasan arah, kesiapan sistem, dan keberanian untuk bertanggung jawab atas konsekuensi.
Seperti diingatkan Kofi Annan, "Kamu bisa melakukan banyak hal dengan diplomasi, tapi kamu bisa melakukan lebih banyak jika diplomasi itu didukung oleh keadilan." Bagi Prabowo, diplomasi Gaza adalah lebih dari sekadar langkah awal: ini adalah cermin dari karakter kepemimpinan Indonesia ke depan.










