Strategi Baru Kekuasaan: dari Brainwashing ke Emotional Hijacking?
Taufiq Fredrik PasiakIlmuwan Otak, Dekan Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta
HARI INI, kekuasaan tidak lagi bekerja dengan cara menekan, melarang, atau membungkam terang-terangan. Era represi sudah lewat. Kini, yang diatur bukan hanya tubuh atau tindakan, tapi emosi dan atensi. Bukan lagi pengendalian dengan palu, tapi dengan notifikasi.
Bukan ketakutan karena senjata, tapi karena ketidakpastian yang tak kunjung selesai. Maka pertanyaannya: apakah rakyat Indonesia sedang mengalami krisis ekonomi atau krisis emosional yang dikondisikan secara sistematis?
Dalam masyarakat digital saat ini, kekuasaan telah berevolusi. Ia tak lagi hadir dalam bentuk kontrol kasar, tapi sebagai rekayasa halus terhadap suasana batin.
Istilah "brainwashing" atau cuci otak klasik -yang bekerja dengan pemaksaan dan pengulangan ideologi- berubah bentuk menjadi "emotional tuning" yakni pengaturan frekuensi emosi massa lewat aliran informasi, simbolisme politik, dan pembiasaan terhadap kebisingan.
Kekuasaan tak lagi berkata “jangan berpikir”, tapi membuat kita terlalu lelah untuk berpikir. Kondisi ini selaras dengan analisis Byung-Chul Han dalam Psychopolitics (2017), yang menyoroti bagaimana kekuasaan modern lebih bekerja melalui eksploitasi kebebasan individu.
Alih-alih menekan dari luar, kekuasaan merasuk ke dalam diri, mengatur ekspektasi, ketakutan, bahkan suasana hati. Dalam konteks Indonesia, strategi ini tampak dalam bagaimana isu-isu politik berganti terlalu cepat untuk dicerna secara mendalam. Belum selesai publik memahami satu isu, sudah muncul lima isu lain. Hasilnya berupa kelelahan emosional kolektif.
Fenomena ini sejalan dengan kajian psikologi politik dan neurosains kognitif tentang sistem perhatian dan pengaruh media.
Dalam situasi saat ini, rakyat Indonesia bukan sedang dibungkam dengan cara lama, tapi dibanjiri informasi hingga tidak mampu lagi memilah mana yang penting dan mendesak.
Gadget dan media sosial telah menjadi alat pengalih perhatian paling masif sepanjang sejarah. Reticular Activating System (RAS), sistem otak yang berperan menyaring informasi, hanya mampu memproses sebagian kecil dari jutaan stimulus setiap detik.
Dan sayangnya, ia secara naluriah akan lebih tertarik pada konten bermuatan emosi tinggi, takut, marah, jijik, atau humor ekstrem. Maka jangan heran jika yang viral bukanlah wacana kebijakan publik, melainkan skandal, selebritas, atau sensasi receh.
Akibatnya, terjadi ledakan informasi yang tidak terorganisir -information overload- yang membuat perhatian publik terpecah-pecah, reaktif, dan cepat lelah. Banyak studi menunjukkan bahwa multitasking digital justru memperburuk fokus dan menurunkan kapasitas kognitif jangka panjang.
Di Indonesia, istilah “brain rot” mulai populer di kalangan Gen Z untuk menggambarkan kondisi ini: tubuh aktif menggulir layar, tetapi pikiran kosong dan tidak terkoneksi dengan dunia nyata. Dalam kondisi seperti ini, sistem limbik -bagian otak yang memproses emosi dasar seperti ketakutan dan kemarahan- lebih dominan dibanding prefrontal cortex yang bertugas mengolah rasionalitas dan keputusan jangka panjang.
Maka dalam lanskap politik hari ini, yang diperebutkan bukan lagi kesadaran, tapi perhatian. Dan perhatian yang telah letih, terpecah, dan mudah terpancing emosi adalah lahan subur bagi manipulasi politik.
Inilah transisi halus dari brainwashing ke emotion-hijacking, yakni pengendalian massa bukan dengan doktrin keras, tapi lewat distraksi terus-menerus.
Kita tidak lagi dijejali ideologi, tapi dikelilingi kebisingan digital yang membuat kita letih berpikir. Dan ketika publik kelelahan, mereka tidak lagi peduli soal keadilan atau masa depan, tapi hanya ingin segera merasa tenang, segera merasa “baik-baik saja.”
Dalam celah inilah, kuasa memainkan emosinya. Memunculkan musuh bersama, narasi kebanggaan semu, atau ancaman imajiner demi mengontrol arah opini publik.
Negara-negara otoriter modern telah menunjukkan bagaimana teknik pengondisian emosi (emotional governance) publik bisa diterapkan secara sistematis dan halus.
Di China, pengendalian emosi publik dijalankan secara sistematis hingga ke level birokrasi akar rumput. Studi konten terhadap slogan layanan publik dari akun resmi lembaga pemerintah menunjukkan penerapan emotional governance yang mengatur bukan hanya perilaku. Tetapi juga perasaan warga, agar selalu bangga, bersyukur, tenteram, dan patuh.
Slogan-slogan ini dirancang untuk membentuk suasana emosional yang stabil dan menekan potensi perlawanan, dengan memengaruhi sistem limbik warga secara berulang. Alih-alih menanamkan ideologi, negara memperkuat kepatuhan melalui rekayasa emosional.
Penelitian ini menegaskan bahwa kendali sosial di China kini bertumpu pada birokrasi yang turut membentuk arsitektur emosi nasional (Yijing Tong dkk., Emotional Governance in Chinese Street-Level Bureaucracy, 2024).
Sebelumnya, di Rusia, Peter Pomerantsev -jurnalis keturunan Rusia- dalam Nothing Is True and Everything Is Possible (2014) menggambarkan bagaimana rezim Putin mengatur persepsi publik dengan menciptakan dunia yang dikendalikan oleh narasi palsu.
Tidak ada yang benar-benar nyata, oposisi palsu, proses hukum palsu, dan berita televisi yang sepenuhnya dimanipulasi. Di balik layar, emosi rakyat diarahkan bukan dengan represi langsung, tapi melalui drama politik yang dikoreografi dengan cermat. Hingga rakyat tak lagi tahu mana yang nyata dan mana yang panggung.
Ini bukan sekadar pengaburan realitas, tapi pembentukan emosi kolektif secara terstruktur. Dan ketika publik hidup dalam dunia yang dikondisikan penuh absurditas, mereka kelelahan mencari makna. Dalam kondisi seperti ini, emosi menjadi jauh lebih mudah dikuasai ketimbang pikiran.
Di China dan Rusia, emotional governance terbukti efektif dalam menciptakan stabilitas sosial tanpa kekerasan terang-terangan. Di China, kendali emosi rakyat dijalankan lewat sistem kredit sosial dan birokrasi akar rumput yang menyisipkan slogan-slogan layanan publik untuk menanamkan rasa bangga dan patuh (Yijing Tong dkk., 2024).
Sementara di Rusia, realitas sosial dibentuk melalui rekayasa narasi televisi dan media yang dikendalikan Kremlin, menciptakan dunia yang absurd namun membuat warga pasrah karena tak tahu mana yang nyata dan mana yang sandiwara (Pomerantsev, 2014).
Kedua negara berhasil menekan gejolak sosial melalui manipulasi emosional, bukan represi fisik. Namun harga yang dibayar tidak kecil: meningkatnya depresi diam-diam, apatisme politik, dan keterputusan batin warga dari realitas dan masa depan. Rakyat tampak tenang, tapi sesungguhnya lelah dan kehilangan orientasi.
Strategi ini menciptakan kesan bahwa semua baik-baik saja, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah penumpukan tekanan emosional yang tak tersalurkan.
Di Indonesia, model emotional governance mungkin belum seformal China atau seintens Rusia, tetapi jejaknya mulai terlihat jelas.
Bukan lewat sistem kredit sosial atau siaran televisi penuh propaganda, melainkan melalui kombinasi algoritma media sosial, retorika penguasa, dan banjir konten yang menyentuh sisi emosional rakyat: rasa takut, bangga, atau pasrah.
Narasi "kita miskin tapi bahagia", "semua negara sedang sulit", atau "yang penting aman dan stabil" menjadi alat kendali psikologis yang menumpulkan pertanyaan kritis.
Pemerintah tidak melarang suara rakyat secara langsung, tetapi menciptakan atmosfer emosional di mana bertanya terasa sia-sia, marah terasa lelah, dan diam menjadi pilihan yang dianggap waras.
Ini bukan represi, tapi pengkondisian emosional. Perlahan, nalar publik dikerdilkan bukan dengan ancaman, melainkan dengan rasa nyaman yang dikontrol.
Tidak usah heran jika hari ini rakyat tampak tenang, bukan karena tidak ada yang salah, melainkan karena terlalu banyak yang harus dihadapi hingga marah pun kehilangan bentuknya.
Kita tidak sedang baik-baik saja. Kita sedang dikelola agar merasa cukup, bahkan saat keadilan tak kunjung datang. Inilah titik paling gawat dalam sejarah sebuah bangsa, ketika sistem berhenti membangun kesadaran, dan justru menumpulkan daya kritis dengan mengatur rasa.
Demokrasi pun perlahan mati, bukan karena tembakan senjata, tapi karena masyarakatnya tidak lagi peduli untuk bertanya.
Hemat saya, kita harus siap siap untuk memiliki rakyat yang tidak lagi peduli. Mungkin saja, meski saya tak berharap, tak peduli lagi pada mau jadi apa bangsa ini di masa depan.










