Ironi Anak Negeri Terperangkap Candu Rokok

Ironi Anak Negeri Terperangkap Candu Rokok

Berita Utama | okezone | Senin, 30 September 2024 - 14:30
share

DUA siswa SMA duduk di bangku kayu panjang sebuah warung kopi di kawasan Menteng Atas, Jakarta Selatan, Rabu 25 September 2024 siang. Keduanya asyik bercengkerama sambil menyeruput kopi susu, mengunyah kudapan, dan mengisap rokok. 

Remaja itu begitu menikmati sensasi merokok. Sembari mengobrol, keduanya sesekali menarik rokoknya dalam-dalam lalu menyemburkan asap dari mulutnya hingga beterbangan memenuhi langit-langit warung.

"Udah biasa bang," ujar remaja berinisial H itu saat berbincang dengan Okezone soal kebiasaannya merokok.

Meski masih berusia 17 tahun, H sudah rutin mengisap tembakau tiap hari. Ia dan rekannya inisial D mengaku kecanduan rokok dalam setahun terakhir. Mereka tak peduli ada aturan larangan merokok bagi anak usia di bawah 18 tahun sebagaimana disebut dalam Pasal 46 Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012. 

Keduanya bercerita terpengaruh rokok dari lingkungan pergaulan. Awalnya coba-coba, akhirnya kecanduan. "Ngeliat teman-teman ngerokok kayaknya enak, nyobain awalnya enggak begitu enak, tapi lama-lama enak," kata H.

 
Remaja itu merokok tanpa sepengetahuan orangtuanya. Mereka biasanya memanfaatkan waktu di luar rumah untuk merokok. Dalam sehari, H tak kurang mengisap dua sampai tiga batang rokok. Bahkan bisa lebih jika waktu dan kesempatannya banyak.

Pengaruh lingkungan bagi tumbuh kembang atau kepribadian remaja memang berdampak besar. Menurut psikolog Amerika Serikat John B. Watson yang mencetuskan psikologi behavioristik, pengalaman dan kontak dengan lingkungan memiliki dampak yang lebih besar pada perilaku seseorang daripada sifat bawaan atau turun-temurun.

Dalam masa tumbuh tersebut, remaja kerap mengeksplorasi identitas, mencari kebebasan, dan melihat dunia orang dewasa. Sehingga tingkah laku remaja secara signifikan dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sosial.

Kendati kenal rokok dari pengaruh lingkungan, ternyata mereka tak berani terang-terangan menghisap tembakau di lingkungan keluarga. Mereka mengaku takut dan hanya berani merokok di ruang lingkup pertemanan saja.

"Kalau di rumah mah enggak. Kalau di tongkrongan aja," ujar rekan H berinisial D.

Remaja itu hanya menikmati sensasi rokok, tapi abai akan kesehatan dan dampak buruk dari tembakau. "Namanya masih muda ya. Tapi banyak juga yang ngerokok enggak sakit kok," kata dia.

Perkok anak meningkat

Dua remaja tersebut hanya bagian kecil dari ribuan bahkan jutaan anak dan remaja yang kecanduan rokok di Indonesia. 

Ketua Komite Nasional Pengendalian Tembakau Hasbullah Thabrany mengatakan bahwa sekitar 20 persen siswa SMP di Indonesia sudah merokok. Menurutnya anak kecanduan rokok ini akan susah mengubah kebiasaan dan sampai dewasa diprediksi akan membelanjakan uangnya untuk rokok. “Banyak anak sudah candu dan tidak bisa keluar lagi," ujar Hasbullah.

 

Berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, perokok aktif di Tanah Air diperkirakan mencapai 70 juta orang. Dari jumlah tersebut, 7,4 persen di antaranya merupakan perokok berusia 10-18 tahun atau anak di bawah umur. 

Data Riskesdas 2023 juga menunjukkan terjadi peningkatan perokok di kalangan generasi muda. Perokok usia 10-18 tahun di Indonesia mencapai 91 persen, naik 0,3 persen dibandingkan data 2016. Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2019 menyebutkan, prevalensi perokok anak sekolah usia 13-15 tahun naik dari 18,3 persen (2016) menjadi 19,2 persen (2019). Sementara itu, data SKI 2023 menunjukkan bahwa kelompok usia 15-19 tahun merupakan kelompok perokok terbanyak (56,5), diikuti usia 10-14 tahun (18,4).

"Ini yang kita ingin cegah supaya perokok anak dan remaja serta perokok pasif tidak terjadi. Angka insiden perokok remaja dan anak di Indonesia meningkat dan dewasa cenderung turun," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi kepada Okezone.

 

Bagaimana pencegahannya?

Peran keluarga hingga pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengurangi tingkat perokok anak di bawah umur. Senada dengan teori psikologi behavioristik yang dikenalkan John Broadus Watson buah pemikiran John Locke, lingkungan merupakan penentu dari perilaku manusia, khususnya remaja yang beranjak dewasa.

"Lingkungan terdekat anak adalah keluarga. Bagaimana orangtua menjadi role model dan memberikan penguatan informasi pada anak tentunya menjadi dasar yang kuat bagi anak untuk terlindungi dari rokok yang merupakan zat adiktif," kata Ketua Yayasan Kepedulian untuk Konsumen Anak (Kakak) Shoim Sahriyati.

Lingkungan sangat mempengaruhi perilaku manusia, termasuk para remaja. Selain keluarga, lingkungan pertemanan dan sekolah harus juga diperhatikan. Menurut Shoim, pemerintah dan lembaga pendidikan berwenang membuat regulasi serta kebijakan mengatur lingkungan yang mengurangi anak-anak terpengaruh rokok.

"Lingkungan inilah yang membutuhkan aturan atau kebijakan mulai dari kawasan yang tidak boleh merokok, pelarangan iklan atau promosi atau sponsor rokok, larangan penjualan rokok pada usia anak atau menaikkan harga rokok sehingga tidak terjangkau untuk anak," ungkap Shoim.

Kebijakan pemerintah dan peran orang tua, kata Shoim, keduanya mutlak dibutuhkan dalam rangka perlindungan anak dari rokok. Kebijakan adalah langkah negara dalam mengupayakan pemenuhan hak anak yang dalam hal ini pemerintah adalah pemangku kewajiban.

"Nah aturan sekarang sudah  mengupayakan untuk meningkatkan perlindungan anak dari rokok. Yang harus dilihat adalah bagaimana mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyak kebijakan yang dalam implementasinya tidak efektif. Perlu keberanian dan ketegasan dalam implementasi kebijakan perlindungan anak dari rokok," beber Shoim.

 

Pemerintah sudah mengeluarkan beberapa aturan untuk melindungi masyarakat, khususnya anak-anak dan remaja dari bahaya rokok. Terbaru adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Dalam regulasi tersebut, Pasal 434 mengatur larangan untuk menjual rokok secara eceran atau ketengan. Rokok juga dilarang diperjualbelikan di radius 200 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak.

Aturan tersebut hingga kini masih menuai kontra dari para pelaku usaha, khususnya warung kelontong. Namun, pemerintah kukuh untuk terus melanjutkan regulasi tersebut. Sebab, beberapa negara telah menetapkan aturan penjualan rokok eceran sebagai bagian dari upaya pengendalian tembakau.

"Sekarang masih dalam pembahasan untuk permenkesnya tetapi apa yang sudah ada di dalam PP dan bisa dijalankan teknis, sudah bisa berjalan. Perbedaan pendapat bisa terjadi tapi kita perlu melihat bagaimana benchmark ke negara negara lain," kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi.

 

Namun, upaya pemerintah dalam mengendalikan rokok tampaknya belum optimal, apalagi untuk para remaja. Angka perokok aktif di bawah umur masih tinggi. Padahal, banyak penyakit yang ditimbulkan akibat tembakau, bahkan hingga menyebabkan kematian.

"Rokok adalah zat adiktif yang artinya membuat orang kecanduan. Yang pasti 70 persen penderita rokok menderita kanker paru-paru dan ini kanker nomor 4 terbanyak di Indonesia, ada 10.000 zat beracun yang berbahaya untuk kesehatan dalam rokok," ungkap Nadia.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai meningkatnya perokok aktif di kalangan anak di bawah umur karena belum adanya kesadaran kolektif, termasuk kesadaran sosial dari industri rokok. Bukan hanya rokok manual, tapi juga rokok elektrik yang kini jadi primadona baru di kalangan milenial dan gen Z. 

"Padahal kita telah sepakat menjauhkan rokok dari anak, namun sikap sikap manipulatif dari industri rokok dan rokok elektrik, justru terus menambah angka perokok anak," kata Wakil Ketua KPAI, Jasra Putra.

Berbagai rokok elektrik terus berkembang belakangan ini. Sebab, belum adanya prasyarat kondisi atas aturan pengendalian rokok hingga rokok elektrik. Aturan tinggal aturan, sementara implementasi, kata Jasra, hanya isapan jempol belaka.

"Yang ujungnya peraturan pelarangan dan pengendalian tembakau berujung laksana puisi, hanya indah diatas kertas," ungkap Jasra.

Hak sehat merupakan hak publik yang wajib dilindungi oleh negara, apalagi anak-anak. Wajib hukumnya penanaman pola hidup bersih dan sehat untuk anak-anak sejak dini. Oleh karenanya, perlu adanya kesadaran bersama untuk mengendalikan tembakau di masyarakat, khususnya anak-anak.

"Karena prevalensi perokok anak terus naik, yang artinya perlakuan salah kita, prasyarat kondisi sebelum anak menghadapi gempuran industri rokok harusnya di dahulukan," ucap Jasra.

Topik Menarik