Oktober Berdarah, Perang Terbuka Sipil dan Anggota PKI di Jateng hingga Jatim

Oktober Berdarah, Perang Terbuka Sipil dan Anggota PKI di Jateng hingga Jatim

Berita Utama | okezone | Rabu, 2 Oktober 2024 - 07:30
share

 

SARWO EDHIE WIBOWO, memimpin pasukan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) memberantas PKI setelah gerakan yang dipimpin DN Aidit tersebut gagal.

Usai peristiwa Subuh berdarah, pada 1 Oktober 1965, PKI sempat menguasai Radio Republik Indonesia (RRI) untuk kemudian menyiarkan fitnah. Kabar soal gerakan mereka pun menyebar ke berbagai kota di luar Jakarta.

Seperti yang terjadi di Bandung. Meski ada siaran dari gerombolan Tjakrabirawa pimpinan Untung Syamsuri, sedikitnya kala itu situasi Bandung tak terjadi chaos.

“Terdengar sampai Bandung karena ada siaran radio dari pihak Untung Cs dan radiogram kepada seluruh Pangdam. Secara umum, pasca-kejadian situasi di Bandung, terutama Kodam Siliwangi, paling kondusif,” ungkap penggiat sejarah 'Historia van Bandoeng', Iman Firmansyah kepada Okezone, beberapa waktu lalu.

“Situasinya kondusif saat kejadian 1965 sampai 1966. Mungkin dari pengalaman seringnya pasukan Siliwangi bergesekan dengan kaum radikal kiri, jadi emosi mereka lebih dapat terjaga, dibanding di Jawa Tengah, Jawa Timur atau Bali,” tambahnya.

 

Namun, Pangdam Siliwangi kala itu, Mayjen Ibrahim Adjie, mengkhawatirkan keselamatan Presiden Soekarno. Terlebih, Pangkostrad Mayjen Soeharto sudah mengambil jalan berseberangan dengan Soekarno, seperti ketika melarang Kolonel KKO Bambang Widjanarko yang hendak menjemput Mayjen Pranoto Reksosamudro, Asisten Personalia Menpangad Letjen Ahmad Yani.

“Ibrahim Adjie yang tahu duduk permasalahannya ini, bahkan sudah menyiapkan pasukan bersiaga di pinggiran Jakarta,” sambungnya.

Kondisi lebih mencekam terasa di luar Jakarta dan Jawa Barat. Seperti di Jawa Tengah dan Yogyakarta, hingga ke sejumlah wilayah di Jawa Timur.

“Jawa Tengah pasca-G30S keadaannya genting. Pemberlakuan jam malam. Wilayah Jateng paling parah situasinya, karena basisnya PKI kan di Jateng. Konflik saling bunuh terjadi seperti perang sipil. Ekses peristiwa di Jakarta lebih mengerikan bagi masyarakat kalangan bawah,” timpal Wahyu Bowo Laksono.

 

“Habis G30S, DN Aidit kan larinya ke Jateng. Sementara penumpasan ditangani langsung Kopkamtib. Segenap satuan militer daerah mendukung. Karena kalau tidak, dicap pro PKI. Pak Sarwo Edhie dengan RPKAD-nya, langsung diturunkan mengamankan Solo dan Yogya,” tambahnya.

“1 Oktober itu juga, dibentuk Komando Operasi Merapi. Operasi ini langsung di bawah Kolonel Sarwo Edhie. Mereka berhasil menumpas perwira (yang pro PKI), seperti Kolonel Sahirman, Maryono dan Kapten Sukarno. 30 Desember 1965, mereka baru ditarik lagi dari Jateng ke Jakarta,” terang Wahyu.

Sementara suasana di Jatim juga tak kalah mencekam dan tegang. Seperti yang terjadi di daerah Malang Selatan, Tumpang, Kediri, Mojokerto, Jombang, serta Surabaya.

“Sempat terjadi penangkapan besar-besaran para anggota PKI sampai Gerwaninya juga. Keadaan juga mencekam. Ada perintah dari pemerintah dan instansi militer, supaya rakyat serta ormas agama seperti GP Anshor di bawah NU, ikut gerakan menumpas PKI,” sambung penggiat sejarah 'Reenactor Ngalam', David Rosihan.

 

“Yang paling parah ada di daerah Kediri, Jombang dan Mojokerto yang basisnya NU. Sampai ada bentrok terbuka. Saling serang antara yang pro komunis dengan NU,” timpal Wahyu Bowo lagi.

Suasana teror juga terasa sampai ke Surabaya. Berbagai bentuk intimidasi bahkan sering diarahkan pada para santri oleh para simpatisan PKI, sebelum Surabaya ikut dibersihkan para pendukung ideologi haram itu.

“Suasana Surabaya sangat tegang, seperti halnya di kota-kota lain. Ada juga cerita PKI sempat meneror golongan santri dalam bentuk intimidasi coretan-coretan di dinding. Dulu di tiap kampung, ada gardu jaga. Biasanya coretan intimidatif itu juga ada di gardu jaga,” tutup aktivis sejarah 'Roode Brug Soerabaia', Ady Setiawan.

Topik Menarik