Ekonomi RI Tak Baik-Baik Saja, Badai PHK hingga Penurunan Daya Beli
JAKARTA - Mantan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO) Roy Mandey menilai ekonomi Indonesia dihadapkan banyak tantangan. Mulai dari daya beli masyarakat yang terus melemah hingga tekanan deflasi berdampak besar pada sektor hilir dan pelaku usaha di Pulau Jawa.
"Sekarang, pelaku sektor hilir menahan ekspansi karena cashflow-nya babak belur. Kita sudah mengalami deflasi selama lima bulan terakhir yang menyebabkan banyak wilayah di Pulau Jawa mencatat pertumbuhan negatif. Untungnya, situasi ini sedikit terbantu oleh cabang-cabang usaha di luar Jawa," ungkapnya, Rabu (20/11/2024).
Pulau Jawa menjadi wilayah yang paling terdampak karena konsentrasi ekonomi nasional berpusat di sana.
"Hampir 60 produksi dan manufaktur kita ada di Jawa, begitu juga dengan populasi masyarakat. Ketika terjadi PHK, yang sudah mencapai 60 ribu orang saat ini, dampaknya paling terasa di Pulau Jawa," kata Roy. Ia menambahkan bahwa tekanan ekonomi ini membuat kondisi pelaku usaha tidak stabil.
Roy juga mengkritik kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dinilai dapat semakin menggerus daya beli masyarakat.
"Ketika pemerintah menaikkan PPN, konsumsi sebagai pendukung utama ekonomi kita akan terganggu. Bagaimana bisa kita berharap pertumbuhan ekonomi 7 atau 8 dalam beberapa tahun ke depan jika pertumbuhan stagnan di angka 5, bahkan pada kuartal ketiga kemarin hanya 4,9?"
Selain faktor domestik, tekanan dari kebijakan global juga menjadi sorotan.
"Sekarang, kita selalu tergantung pada Federal Reserve di Amerika Serikat, yang menyebabkan suku bunga tinggi. Ketika suku bunga tinggi, daya beli masyarakat turun, pinjaman macet, dan muncul fenomena gali lubang tutup lubang. Hal ini mendorong orang untuk mencari solusi instan seperti judi online atau pinjaman online (pinjol)," ujar Roy.
Meski begitu, pandangan optimistis muncul dari pernyataan Ketua Umum Perhimpunan Riset Pemasaran Indonesia (PERPI), Rhesa Yogaswara.