PPN Naik Jadi 12 Persen, Masih Lebih Rendah dari Negara Lain?
JAKARTA - Rencana Pemerintah Indonesia menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025 terus menjadi sorotan. Kebijakan ini diambil pemerintah dengan tujuan untuk meningkatkan penerimaan negara dengan tetap mempertimbangkan aspek keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat, serta menjaga postur APBN lain seperti pada sisi belanja.
Adapun kenaikan pajak dari 11 persen menjadi 12 persen telah sesuai dengan amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 2022 lalu. Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati menilai, tarif PPN Indonesia yang saat ini sebesar 11 persen masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain, baik di kawasan regional maupun anggota G20.
India misalnya, ‘Negara Anak Benua’ ini diketahui memiliki tarif PPN 18 persen dan rasio pajak sebesar 17,3 persen. Sementara itu di kawasan Asia Tenggara, Filipina tercatat menetapkan tarif PPN 12 persen dengan rasio pajak 15,6 persen.
Negara-negara dengan tarif PPN yang lebih tinggi dari Indonesia tersebut nyatanya memiliki pendapatan per kapita yang lebih tinggi pula, serta ekonomi yang terbilang stabil. Lantas, bagaimana dengan Indonesia?
Antara Pendapatan per Kapita dan Rasio Pajak
Peneliti Ekonomi di Indonesia Development of Economics and Finance (INDEF) Ariyo Irhamna mengatakan, negara-negara dengan PPN lebih tinggi umumnya memiliki pendapatan per kapita yang jauh lebih besar. Selain itu, mereka juga memiliki sistem jaring pengaman sosial yang lebih baik.
“Secara nominal, PPN Indonesia memang lebih rendah dibandingkan negara-negara dengan tarif 15-18 persen. Maka dari itu, pastikan hasil kenaikan PPN ini digunakan untuk memperkuat jaring pengaman sosial bagi masyarakat rentan,” ujarnya, Selasa (24/12/2024).
Saat ini, rasio pajak Indonesia berada di angka 10,4 persen, jauh lebih rendah dibandingkan rata-rata negara lain yang mencapai 15 persen. Sementara itu, menurut situs Kementerian Keuangan, standar internasional rasio pajak ideal berada di angka 15 persen ke atas.
Seperti diketahui, rasio pajak atau tax ratio merupakan indikator untuk mengukur perbandingan antara penerimaan pajak suatu negara dengan Produk Domestik Bruto (PDB) pada periode yang sama. Oleh sebab itu, kebijakan peningkatan tarif PPN menjadi 12 persen ini diharapkan dapat secara bertahap memperbaiki rasio pajak tersebut.
“Meningkatkan penerimaan negara adalah tujuan yang sah, mengingat rasio pajak Indonesia yang memang rendah, sekitar 9-10 persen dari PDB,” kata Ariyo.
Namun begitu, Ariyo menegaskan agar Pemerintah juga dapat berfokus pada perluasan basis pajak, seperti mengoptimalkan pajak digital, pajak karbon, dan pajak kekayaan. Selain itu, lanjutnya, berupaya meningkatkan kepatuhan pajak dengan sistem digitalisasi, ataupun penegakan hukum pajak yang lebih efektif.
Kenaikan PPN Dinilai Mampu Dukung Pertumbuhan Ekonomi
Menkeu Sri Mulyani mengatakan, pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya, akan selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Prinsip ini, menurutnya, juga mendasari penerapan kebijakan PPN 12 persen yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
“Keadilan adalah di mana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” tuturnya.
Dia menegaskan bahwa meski tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen, Indonesia tetap memiliki pajak yang kompetitif dibandingkan negara-negara lain. Hal tersebut karena kebijakan kenaikan tarif PPN diberlakukan dengan tetap mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk di antaranya menjaga daya beli masyarakat dan stabilitas ekonomi.
Menanggapi hal ini, Ariyo Irhamna mengatakan bahwa memang terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan Pemerintah ketika kebijakan kenaikan tarif PPN resmi diberlakukan. Adapun faktor tersebut meliputi daya beli masyarakat, dampak pada UMKM, dan risiko inflasi.
“Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pemerintah perlu memastikan kenaikan PPN digunakan untuk belanja yang produktif seperti infrastruktur, pendidikan, dan perlindungan sosial,” ucapnya.
Sebagai informasi, kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0 persen). Barang yang seharusnya membayar PPN 12 persen antara lain tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar 1 persen akan dibayar oleh Pemerintah (DTP).
Sementara penyesuaian tarif PPN akan dikenakan bagi barang dan jasa yang dikategorikan mewah, seperti kelompok makanan berharga premium, layanan rumah sakit kelas VIP, dan pendidikan berstandar internasional yang berbiaya mahal.
Insentif Pajak Ringankan Beban Masyarakat
Pemerintah berjanji akan memberikan stimulus dalam bentuk berbagai bantuan perlindungan sosial untuk kelompok masyarakat menengah ke bawah (bantuan pangan, diskon listrik 50 persen, dan lain-lain).
Ariyo Irhamna mengatakan, selain menitikberatkan belanja negara pada sektor yang dapat meningkatkan daya saing, pemberian insentif pajak bagi pelaku UMKM dan sektor strategis lainnya dapat membantu untuk meringankan beban masyarakat.
“Fokuskan belanja negara pada sektor yang dapat meningkatkan daya saing, seperti infrastruktur logistik dan teknologi, dan berikan insentif pajak bagi pelaku UMKM dan sektor strategis untuk mengurangi beban mereka,” ucap Ariyo.
Bak gayung yang bersambut, Pemerintah pun juga akan menetapkan insentif perpajakan seperti perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen untuk UMKM, Insentif PPh 21 DTP untuk industri padat karya, serta berbagai insentif PPN dengan total alokasi mencapai Rp265,6 triliun pada 2025.
“Insentif perpajakan 2025, mayoritas adalah dinikmati oleh rumah tangga, serta mendorong dunia usaha dan UMKM dalam bentuk insentif perpajakan. Meskipun ada undang-undang perpajakan dan tarif pajak, namun Pemerintah tetap peka untuk mendorong barang, jasa, dan pelaku ekonomi,” tutur Sri Mulyani.