Meraih Asa dari Setetes Nira Kelapa

Meraih Asa dari Setetes Nira Kelapa

Terkini | purwokerto.inews.id | Kamis, 24 Oktober 2024 - 15:40
share

CILACAP, iNewsPurwokerto.id - Binar mentari mengintip malu dari sela-sela daun pelepah kalapa usai tertutup kabut tipis yang mulai memudar, cahayanya apik saat menebus bumi, ditambah suara burung pipit sekitar sawah ramai bersahutan. Udara begitu segar pagi itu di Desa Karangsari, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, langkah pasti para petani disibukkan untuk menggarap sawah, tak terkecuali petani penderes atau penyadap nira kelapa.

Petani Penderes sebutan bagi para penyat 'manggar' bunga pohon kelapa yang mengeluarkan air nira merupakan kaum marjinal yang kerap terpinggirkan. Kehidupannya selalu dimanfaatkan oleh para tengkulak gula kelapa untuk menghasilkan pundi-pundi uang dari keringat mereka. 

Hidup mereka selalu dibayangi akan rasa was-was kematian atau cacat seumur hidup. Maklum saja, kehidupan mereka dalam lingkaran industri gula kelapa sangatlah penting. Petani Penderes adalah orang-orang yang setiap harinya harus naik turun pohon kelapa setinggi kurang lebih 15-40 meter, menyayat manggar dan menampung air nira yang keluar dari sayatan bunga kelapa, untuk kemudian diolah menjadi gula-gula cetak atau gula Jawa bahan tambahan masakan dalam rumah tangga.

Potensi terjatuh dari pohon kelapa sangatlah tinggi, setiap hari petani penderes di Desa Karangsari harus memanjat sekitar 15-22 pohon kelapa, entah dalam kondisi angin kencang, ataupun licinnya pohon kelapa setelah hujan turun. Semua harus mereka lakukan, demi menghasilkan pendapatan hidup dari setiap tetes air nira yang mereka kumpulkan.

Seperti Asim Muhammad Nurudin (52) warga Desa Karangsari, Kecamatan Adipala yang setiap harinya, pada pagi pukul 08.00 WIB harus naik turun pohon kelapa. Langkahnya pasti menuju satu dari 22 pohon kelapa yang terlihat tinggi menjulang ke angkasa. Tapak kakinya satu persatu menginjak 'tataran' sebutan pijakan kaki di pohon kelapa yang dibuat untuk dapat naik ke atas pelepah pohon kelapa.

Setiap kali memanjat, ia harus membawa beberapa 'pongkor' atau wadah ramah lingkungan yang telah diisi 'laru' berbahan rendaman kulit manggis dan kapur sebagai bahan pengawet alami, lalu sebilah 'kudi' semacam pisau khas Banyumasan. Sesampainya di atas pelepah pohon kelapa, ia harus menjaga keseimbangannya dan mengambil pongkor yang telah ia pasang pagi kemarin dan menggantinya dengan pongkor yang ia bawa dari bawah. 

Agar air nira keluar, "kudi" yang ia bawa digunakan untuk menyayat bunga manggar, ketika tetes demi tetes keluar, lantas pongkor yang ia bawa dipasang dan ia tinggal untuk ia ambil keesokan paginya. 

Naik dan turun pohon ini ia lakukan setiap harinya selama puluhan tahun dengan puluhan pohon. Sebelum mendapatkan pendampingan dari PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos, Cilacap, Asim dan banyak penderes lain di Desa Karangsari menggunakan sulfit, pengawet berbahan kimia, agar gula yang dihasilkan menjadi cerah, menarik dan tidak gagal ketika dicetak nantinya.

"Dulu kayak gini, kalau sebagai penderes kan yang jelas itu nggak bisa jual ke luar, jadi dijualnya itu kepengepul, dan juga menggunakan bahan-bahan kimia, sebelumnya ada kelompok seperti itu. Jadi permintaan buyer atau pengepul biasanya gula yang ngenjreng cerah, ini harus pakai ini (bahan kimia)," ucap Asim yang dipercaya sebagai Ketua Kelompok Pendekar binaan PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos saat berbincang dengan iNews Purwokerto beberapa waktu lalu.

Bahkan penggunaan sulfit ketika itu sempat membuat banyak penderes yang tidak berani mengkonsumsi air nira langsung dari pongkor ketika kehausan saat berada di atas pohon kelapa. Karena mereka sadar bahaya penggunaan sulfit dalam jumlah banyak pada bahan makanan. Hingga akhirnya mereka beralih menggunakan laru alami yang aman bagi kesehatan.

 

"Sewaktu naik ke atas capek dan haus tidak berani minum langsung, karena niranya sudah dicampur kimia. Makanya ketika sudah mulai beralih organik, sekarang mereka (penderes) berani minum langsung di atas ketika capek," ujarnya.


Asim sedang mengecek Drupadi, alat peringatan kecepatan angin agar Penderes Gula waspada dan tidak naik pohon. (Foto: Arbi Anugrah)

Kehadiran Pertamina ini mengubah pola kerja para petani Penderes gula kelapa di Desa Karangsari, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah dalam mengolah air nira menjadi gula organik sangat dirasakan manfaatnya. Tidak hanya itu, pendampingan yang dilakukan PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos, Cilacap kepada petani Penderes yang sebelumnya menggunakan bahan kimia, kini berangsur-angsur berubah menjadi gula sehat yang aman untuk dikonsumsi masyarakat, bahkan hasil dari pendampingan ini telah meningkatkan taraf kehidupan para petani gula secara ekonomi.

Namun untuk mencapai itu semua tidaklah mudah, jatuh bangun harus dilakukan Asim agar para petani penderes mau beralih menggunakan laru alami pengganti bahan kimia sulfit. Apalagi Kabupaten Banyumas dan Cilacap di Jawa Tengah menjadi salah satu pusat industri gula kelapa di Indonesia. Di mana hasil produk gula kelapa yang diolah menjadi gula semut memiliki orientasi ekspor, dan Banyumas menjadi pusat industri gula semut terbesar di Asia dengan pangsa pasar Amerika, Eropa hingga Jepang.

Untuk menghasilkan gula bernilai ekspor tidaklah mudah, gula-gula yang dihasilkan dari setiap pohon kelapa harus bebas dari bahan kimia dan harus memiliki sertifikasi dari Internasional Control Union untuk mengontrol kualitas dari gula semut tersebut. Di sinilah peran PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos mengubah pola kerja para Penderes gula kelapa di Desa Karangsari yang sebelumnya akrab dengan bahan kimia bernama 'sulfit' untuk menghasilkan gula cetak cerah, bersih namun berbahaya jika dikonsumsi oleh masyarakat.

"Perjuangannya ya sangat luar biasa sekali, sampai sekarang juga masih banyak yang belum mau pindah ke organik, terus terang saja kayak begitu," jelasnya.

Maka dari itu, ia menyarankan para penderes dikelompoknya agar membuat gula sehat, selain sebagai penghasilan, dengan membuat gula organik juga memiliki nilai ibadah kepada masyarakat yang mengkonsumsinya. "Kalau kita memberikan konsumen kita dengan cara sehat, Insya Allah kita dapat balasan yang bagus, juga untuk keluarga kita sendiri, ibaratnya tidak ragu kalau ngonsumsi seperti itu," kata Asim.

Kelompok Tani Pendekar sebutan untuk Penderes Badek Karangsari dibentuk sekitar tahun 2021 setelah sebelumnya mendapatkan perhatian dari PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos di tahun 2020, dengan jumlah anggota sekitar 50 petani Penderes dengan rentang usia 20-55 tahun. Tujuan utama kelompok tani pendekar adalah mengubah pola kerja petani Penderes dari penggunaan sulfit menjadi gula organik sehat yang dapat dikonsumsi oleh seluruh masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan para petani gula dari hasil kerja kerasnya selama ini.

Sebab, dalam hitungannya, penggunaan sulfit dalam pembuatan gula kelapa seperti gula Jawa sangat merugikan, karena untuk membeli sulfit yang dicampur ke 22 pohon dalam satu harinya harus mengeluarkan uang Rp4 ribu rupiah. Sedangkan dengan menggunakan laru alami, cukup Rp1000 rupiah, tapi memiliki harga yang lebih baik, serta banyak konsumen lebih memilih gula organik.

Selain itu, gula tanpa bahan sulfit juga dapat diolah menjadi gula semut atau coconut sugar yang di ekspor ke luar negeri. Saat ini dari 50 anggota penderes gula kelapa, baru sekitar 30 persen penderes yang membuat gula semut, sisanya gula cetak.

Dari 30 persen penderes yang membuat gula semut, menurutnya dalam sebulan kelompoknya dapat menghasilkan sekitar 1 ton gula semut, baik yang dihasilkan dari para petani kelompoknya, ataupun gula semut yang dibeli dari para pengepul. Maklum saja, meskipun telah berdiri kelompok, namun masih banyak petani penderes yang terikat dengan para pengepul gula kelapa. Sehingga, gula semut ataupun gula cetak tersebut akan disetor kepada pengepul untuk selanjutnya dibeli oleh kelompok.

 

Beruntungnya, Asim selalu menjaga hubungan baik dengan para pengepul gula kelapa di desanya, sehingga ketika berdirinya kelompok ini, tidak menimbulkan perselisihan antara kelompoknya dan para pengepul yang selama ini mendapatkan gula dari para petani penderes. Bahkan, ia malah merangkul para pengepul yang memiliki sejumlah petani namun belum tergabung dalam kelompok untuk bekerja sama membuat gula organik yang nantinya dibeli oleh kelompoknya.


Petani sedang menghaluskan air nira yang telah diolah menjadi gula semut organik. Produk gula semut diekspor ke luar negeri. (Foto: Arbi Anugrah)

"Gula semut itu masing-masing, jadi tidak menentu setiap orangnya. Kalau saya itu kalau rata-rata itu 10 kilogram, 1 hari. Ada yang 5 kilogram, ada yang 7 kilogram. Dalam sebulan sekitar 1 ton, kalau satu minggu 3 kuintal. 1 ton dari hanya 30 persen penderes dan gula-gula yang diberikan dari pengepul," ucapnya.

Gula semut tersebut oleh kelompok nantinya akan dijual ke buyer yang mencari, adapula yang dijual di toko komunal hasil bantuan Pertamina dengan dibuat kemasan-kemasan 250 gram beragam varian rasa, baik rasa gula original, jahe, kunyit ataupun temulawak. Bahkan, kelompoknya juga terus berinovasi memanfaatkan air nira kelapa untuk diolah menjadi berbagai jenis produk inovatif lainnya.

"Alhamdulilah kalau menurut saya memang sudah bagus penjualannya dan nilai harganya, dibandingkan dengan tahun-tahun saat gula cetak," imbuhnya.

Meski demikian, Asim membandingkan antara gula cetak dan gula semut yang dibeli kelompoknya dengan para pengepul sangat jauh berbeda, di mana harga gula cetak di tingkat petani dibeli oleh pengepul dengan harga Rp15 ribu, sedangkan gula cetak dari anggota kelompoknya dibeli dengan harga Rp19 ribu. Sementara untuk gula semut dibeli seharga Rp22 ribu per kilo tingkat petani, lalu kelompok akan jual lagi ke bayer menjadi Rp23 ribu.

Meski kelompoknya telah memiliki sertifikat organik dari Internasional Control Union untuk mengontrol kualitas dari gula semut tersebut, namun Asim mengaku jika kelompoknya belum bisa melakukan ekspor secara mandiri. Sebab, selain tingginya permintaan pasar, kelompoknya belum mampu untuk memenuhi kuota permintaan pasar meskipun melakukan kerjasama dengan para kelompok-kelompok tani gula. 

"Kalau berbicara ekspor itu susah banget, sebab kalau ekspor itu pasti sudah ada kontrak dalam satu bulan harus sekian (jumlah ton), dan kalau cuma di Desa Karangsari sama sekali belum mencukupi, walaupun sudah kerjasama dengan kelompok manapun tidak cukup, disamping itu juga dananya itu sangat besar sekali," jelasnya.

Meski demikian, Asim sangat bersyukur dengan hadirnya Pertamina dapat mengubah masyarakat petani Penderes untuk lebih maju dan berkembang bersama. Selain itu, penderes gula kelapa memiliki tingkat resiko yang tinggi akan kematian atau cacat seumur hidup akibat terjatuh dari pohon kelapa saat bekerja karena cuaca atau kelelahan saat berada di atas pohon kelapa. Untuk menjaga keselamatan para penderes gula kelapa, Pertamina juga memberikan alat keselamatan berupa sabuk pengaman.

"Penderes itu tingkat keselamatannya sudah difasilitasi oleh Pertamina, kayak pakai sabuk pengaman, juga terus ada tanda-tanda yaitu yang untuk mendeteksi angin namanya Drupadi. Itu kalau ada angin yang kencang bunyi, jadi penderes diminta untuk berhenti dulu, saat ada tanda-tanda peringatan," ujarnya.

Ia juga menuturkan, jika profesi penderes gula kelapa selama ini masih dianggap sebelah mata, khususnya bagi generasi muda, sehingga sulit untuk regenerasi. Selain memiliki tingkat resiko yang tinggi, para pemuda juga lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik atau perusahaan dibandingkan bekerja sebagai penderes gula kelapa. Padahal jika dibandingkan, penghasilan menjadi penderes saat ini tidak jauh berbeda.

 

Maka dari itu, regenerasi petani Penderes terus dilakukan kelompoknya dengan mengajak anak-anak para penderes atau para pemuda desa yang menganggur setelah pulang dari perantauan di Jakarta. Meski profesi Penderes gula kelapa masih dianggap sebelah mata, namun sejak kelompok Pendekar didirikan, terdapat perkembangan dengan bertambahnya para Penderes muda dikelompoknya.


Asim tengah memisah antara gula semut yang halus dengan gumpalan gula. Proses ini untuk menjamin kualitas gula semut siap ekspor tetap terjaga. (Foto: Arbi Anugrah)

"Saya juga meminta seluruh perderes untuk mengajak temen-temen sama anak-anak muda yang pengangguran, khususnya yang pulang dari Jakarta. Alhamdulillah tahun 2021 ada perkembangan, ada penambahan penderes yang muda ikut nderes, tapi ada juga yang akhirnya berhenti," ujarnya.

Selain melihat perjuangan yang dilakukan Asim untuk mengubah paradigma penderes gula kelapa saat itu dari penggunaan bahan kimia menjadi organik, PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos juga melihat potensi yang cukup tinggi yang dapat dihasilkan dari para penderes ini. Sehingga pada tahun 2020 PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos berupaya untuk melakukan pendekatan dan melakukan pembinaan kepada para penderes dengan membantuk kelompok tani Pendekar di Desa Karangsari melalui program CSR.

Terlebih program pembinaan ini sesuai dengan tujuan Pertamina dalam Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), seperti pengentasan kemiskinan, kesetaraan gender, pekerjaan layak, energi bersih hingga pertumbuhan ekonomi.

"Kita melihat sebuah potensi, khususnya Penderes ini, di mana Penderes itu penghasilannya cukup tinggi juga, setiap hari itu ketika menderes, misalkan seperti pak Asyim 10 kilogram dikalikan berapa harga gula aja udah lumayan tinggi. Cuman ternyata masih banyak potensi dari gula cetak sendiri bisa dikembangkan jadi gula semut," kata Jr SPV II HSSE PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos, Agil Bagus Putra Perkasa saat diwawancara terpisah.

Menurut Agil, pihaknya juga melihat komitmen dari Asim ketika telah mendapatkan pelatihan dari Dinas, Asim semakin memahami bahayanya penggunaan bahan kimia bagi tubuh. Lalu Asim berusaha untuk mengubahnya agar tidak menggunakan sulfit dalam proses pembuatan gula cetak saat itu demi keluarga dan orang-orang yang mengkonsumsinya.

"Akhirnya pak Asim mulai berusaha untuk mengolah gula organik, biarpun beberapa kali mengalami kegagalan, tapi akhirnya berhasil dan bisa untuk memotivasi masyarakat. Nah di sini Pertamina melihat ada sosok lokal Hero," ujarnya.

Dengan melihat potensi pengembangan gula cetak menjadi gula semut dan perjuangan mengubah penggunaan bahan pengawet gula dari kimia menjadi organik, serta adanya komunitas petani Penderes. PT Pertamina Patra Niaga Fuel Terminal Maos akhirnya masuk untuk memberikan program CSR Pendekar, sesuai dengan nama kelompok tani penderes gula kelapa ini.

Awalnya Agil mengaku jika para penderes gula ini belum terkoordinir dengan baik, di mana para petani penderes ini masih berjalan sendiri-sendiri di rumah-rumah, dengan pelanggan dari para pengepul. Hingga akhirnya dibentuklah Kelompok Pendekar agar lebih terkoordinir.

Ketika itu, untuk memudahkan pemberdayaan masyarakat agar memiliki nilai jual dari hasil pengolahan gula kelapa ini, kelompok tani Pendekar bekerja sama dengan koperasi Nira Cahaya Sejahtera. Di mana Pertamina berhubungan dengan kelompok Pendekar dan operasi Nira Cahaya Sejahtera untuk membina membuat gula berstandar organik dan membantu dalam pemasaran, seperti mencarikan bayar eksportir. Hingga akhirnya kelompok tani Pendekar dapat berdiri secara mandiri, bahkan dapat memiliki sertifikat organik dari Internasional Control Union dalam hal pengolahan gula secara organik.

 

"Dari Pertamina melakukan kegiatan-kegiatan salah satunya ya sosialisasi organik. Karena terkait bahan kimia berbahaya, jadi kita sosialisasikan bagaimana untuk produksi gula dengan organik. Terus kemudian untuk ekspor kita buatkan sertifikasi control union, jadi sudah disertifikasi juga," jelasnya.


Toko komunal, pusat jual beli petani Penderes Gula beserta hasil produk olahan ataupun inovasi dari kelompok Pendekar. (Foto: Arbi Anugrah)

Selain itu, Pertamina FT Maos juga membantu dalam hal pembuatan toko komunal agar penjualan gula dari para petani penderes dapat tersalurkan dengan harga yang lebih tinggi, dari pada harga yang diberikan pengepul kepada petani. 

"Jadi toko komunal itu tokonya dari kelompok penderes bareng-bareng menjual di situ. Jadi ketika penderes itu biasanya dijual ke pengepul harganya lebih murah, tapi di toko komunal harganya lebih tinggi," ujarnya.

Bukan hanya itu, selain membeli hasil produk para petani penderes dengan harga berkeadilan, toko komunal juga mengemas gula semut varian rasa seperti jahe, kunyit dan temulawak hasil inovasi dari anggota kelompok Pendekar untuk dijual kepada masyarakat luas. Meski belum dijual secara online melalui marketplace, namun gula varian rasa ini merupakan terobosan dari hasil upaya pembinaan yang dilakukan Pertamina. 

Selain itu, untuk meningkatkan pendapatan petani, kelompok tani Pendekar juga melakukan inovasi dengan membuat es badeg yang terbuat dari air nira kelapa dengan dikemas menggunakan cup. Hasil dari inovasi ini mengubah pola pikir para penderes gula kelapa, di mana turunan dari air nira kelapa tidak hanya bisa dibuat gula cetak, tetapi juga gula semut original dan varian rasa hingga es badeg yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sebagai pelepas dahaga. Saat ini hasil produksi kelompok ini telah dijual didua lokasi yang ada di wilayah tersebut.

"Jadi kita buat sendiri satu toko yang memang milik Penderes untuk digunakan jual produk-produk Penderes, produknya ada gula original, gula semut jahe, gula semut kunyit, temulawak. Lalu ada juga gula cetak, karena masih banyak masyarakat yang memerlukan gula cetak, lalu es badeg atau air nira," ucap Agil.

"Untuk air nira ini sendiri sebuah terobosan yang diusulkan dari kelompok. Jadi kelompok biasanya menjual gula yang dihitungnya kiloan dengan harga Rp20 ribu, padahal dari nira 8 liter. Tapi kalau dikemas jadi kecil-kecil pakai cup, bisa jadi minuman 30 cup. Untungnya lebih banyak, masing-masing dijual Rp2000, jadi hasilnya Rp60 ribu. Selama difreezer bisa bertahan sampai 2 bulan," lanjut Agil.

Kemudian, menurut Agil, untuk meningkatkan keamanan para Penderes gula kelapa yang memiliki tingkat resiko tinggi saat bekerja, Pertamina juga memfasilitasi alat keselamatan penderes berupa sabuk pengaman dan penanaman pohon kelapa genjah yang dapat tumbuh tidak tinggi seperti pohon kelapa pada umumnya.

Lalu ada juga alat bernama drupadi, sejenis alat pemantau kecepatan angin yang akan berbunyi dan memberikan peringatan saat terjadi angin kencang. Hal ini tentu dapat meminimalisir tingkat kecelakaan kerja para penderes agar tidak terjatuh dari pohon kelapa.

"Jadi memang kalau resiko penderes itu tinggi, ada beberapa kejadian kecelakaan, kalau cerita ada beberapa penderes yang pernah jatuh sampai kondisinya kritis, cacat dan ada yang meninggal dunia, itu banyak kejadian. Kita dari Pertamina berfikir inovasi untuk meminimalisir itu, salah satunya alat pengaman, lalu pohon kelapa genjah yang lebih pendek dan kita buatkan alaram, jadi ketika ada angin kencang bakal bunyi untuk memperingatkan penderes biar tidak naik. Jadi cerita penderes itu kalau angin kencang, pohon kelapa bisa mentiung (melengkung)," jelasnya.

Topik Menarik