Karier Politik Saeed Jalili, Capres Ultrakonservatif Iran yang Maju ke Putaran Kedua

Karier Politik Saeed Jalili, Capres Ultrakonservatif Iran yang Maju ke Putaran Kedua

Global | sindonews | Senin, 1 Juli 2024 - 16:45
share

Saeed Jalili menjadi salah satu calon presiden (capres) yang melaju ke putaran kedua pemilu presiden (Pilpres) Iran. Nantinya, dia akan berhadapan dengan capres reformis Masoud Pezeshkian.

Sebagai informasi, pada pemungutan suara sebelumnya Pezeshkian memperoleh 42,4 suara. Sementara Jalili sendiri berada di urutan kedua dengan torehan 38,6 suara.

Lebih jauh, siapa sebenarnya sosok Saeed Jalili ini? Berikut ulasan karier politiknya yang bisa diketahui.

Karier Politik Saeed Jalili

Pada reputasinya, Saeed Jalili dikenal sebagai sosok politikus dan diplomat ultrakonservatif di Iran. Ia pernah menjadi salah seorang negosiator nuklir Iran.

Melihat ke belakang, Jalili pernah terlibat dalam Perang Iran-Irak dan berada di pihak Basij, kelompok yang menerima perintah Ayatollah Khomeini. Pengalaman tersebut yang membentuk pandangan dunia Islam garis kerasnya sampai sekarang.

Ia bahkan dijuluki martir hidup karena harus kehilangan bagian bawah kaki kanannya saat perang. Jalili tumbuh dengan program indoktrinasi Basij dan mulai memasuki politik setelah perang berakhir.

Mengutip laman United Against Nuclear Iran, Jalili bergabung dengan Kantor Inspeksi di Kementerian Luar Negeri dan diangkat menjadi kepala inspektur setelah perang.

Selama periode jabatan kepresidenan Mohammad Khatami yang dimulai pada 1997, ia ditunjuk sebagai wakil direktur departemen di Kementerian Luar Negeri.

Terlepas dari jabatan birokrasi yang disematnya, Jalili juga aktif melalui aktivitas akademis. Selama berada di Kementerian Luar Negeri, ia pernah mengajar dan melakukan penelitian doktoral ilmu politik di Universitas Imam Sadegh dan menyelesaikannya pada 2002.

Keterlibatan Jalili dengan universitas tersebut turut mengasah perspektif politik garis kerasnya yang sejalan dengan pandangan pemimpin tertinggi.

Selain itu, tesis doktoral dan tulisan akademisnya selama bertugas juga menjadi landasan perspektif kebijakan luar negerinya yang ‘suka’ berperang.

Berbekal pengalaman yang dimiliki, Jalili semakin matang untuk mencapai tingkat kekuasaan yang lebih tinggi, khususnya dalam pelayanan kepada pemimpin tertinggi. Sekitar tahun 2000, Khamenei menunjuknya sebagai direktur penelitian di kantornya.

Pada tugas barunya itu, Jalili menjalin hubungan dengan putra pemimpin tertinggi, Mojtaba, yang memiliki pengaruh besar.

Menariknya, ikatan ini menjadi titik balik fase berikutnya dalam karier Jalili sebagai juru bicara Khamenei.

Sekitar 2005, Ahmadinejad naik sebagai Presiden Iran. Ia kemudian mengangkat Jalili sebagai wakil menteri luar negeri.

Pada perannya, relasi Jalili semakin luas. Para pengamat bahkan menyebut Jalili ini punya tugas rahasia untuk memastikan bawahan Ahmadinejad mengikuti arahan pemimpinnya.

Sekitar tahun 2007, Jalili ditunjuk menjadi Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi (SNSC). Bersama tugasnya, ia harus memastikan pembuatan kebijakan sudah sejalan dengan kepentingan Khamenei.

Pada waktu berdekatan, Jalili juga dipercaya menjadi kepala negosiator nuklir Iran. Dalam kapasitasnya sebagai perunding nuklir, ia mengambil sikap tegas dalam mendukung program nuklir Iran.

Meski perannya gagal dalam mengamankan keringanan sanksi, pendekatannya justru memberi kredibilitas politik. Setelahnya, nama Jalili pun semakin dikenal luas.

Berbagai pengalaman dalam pemerintahan Ahmadinejad memberi Jalili reputasi yang lebih tinggi. Para pengamat bahkan mulai menganggapnya sebagai calon terdepan dalam pemilihan presiden 2013.

Akan tetapi, pihak yang kontra dengannya mulai menyerang Jalili karena rekam jejak buruk dalam negosiasi nuklir. Pada akhirnya, ia harus gagal dalam pemilihan dan berada di tempat ketiga.

Tak lama setelah pemilu, Khamenei mengangkat Jalili ke Dewan Kemanfaatan. Hal ini menjadikannya agar tetap terhubung dengan relevan secara politik.

Selanjutnya, Jalili membentuk “pemerintahan bayangan” bersama kelompok garis keras lain yang memiliki koneksi dengan Khamenei dan IRGC.

Menjelang pemilihan presiden tahun 2017, Jalili menolak menolak menjadi kandidat dengan alasan perlunya faksi garis keras melakukan konsolidasi di belakang Raisi.

Selama masa jabatan kedua Presiden Rouhani, pengaruh “pemerintahan bayangan” semakin meluas. Menjelang akhir masa jabatan kedua Rouhani, Jalili mengokohkan posisinya sebagai salah satu pendukung garis keras Khamenei yang ditunjukkan dengan kesetiaan ideologis yang kuat.

Berdasarkan profilnya yang sudah dibangun, Jalili kembali mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan 2021.

Namun, ia dan kandidat garis keras lainnya mengundurkan diri untuk mendukung Raisi sebelum pemungutan suara karena arahan Khamenei dan IRGC.

Setelah kemenangan Raisi, Jalili tetap menjadi kekuatan penting dalam pemerintahan baru. Terbaru, insiden kematian Raisi yang tak terduga memberi Jalili kesempatan mengamankan kursi kepresidenan.

Setelah mendaftar dan mengklaim dukungan Khamenei, Jalili berhasil masuk putaran kedua Pilpres Iran 2024. Ia nantinya akan beradu dengan capres reformis Masoud Pezeshkian.

Itulah sedikit ulasan mengenai karier politik Saeed Jalili, capres ultra konservatif Iran yang masuk putaran kedua.

Baca juga: PM Mikati Nyatakan Lebanon dalam Keadaan Perang karena Konflik Israel-Hizbullah

Topik Menarik