BEM UI Sindir Bahlil, Pasang Spanduk Jasa Kilat Gelar Akademik, Nego Sampai Jadi
Gelar doktor Bahlil Lahadalia yang diraih secara cepat masih menjadi sorotan dan mengundang kritikan publik. Teranyar, Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengunggah video sindiran.
Dalam video yang diunggah di akun resmi X BEM UI, Senin (4/11/2024), terlihat spanduk pengumuman lengkap dengan foto Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia. Di spanduk yang dipasang di pagar kampus UI itu tertulis, "JASA KILAT GELAR AKADEMIK UI, TESTIMONI BAHLIL LAHADALIA +62847178390". Di bagian spanduk tertulis #NEGOSAMPAIJADI.
Video itu juga diperkuat dengan narasi suara seorang perempuan yang mengomentari spanduk tersebut.
"Ih apa tuh, jasa kilat gelar akademik UI, emangnya bisa ya kayak gitu? tapi udah ada testimoninya tuh, Bahlil Lahadalia, wah menarik sih ini, coba kali kali ya, bisa dinego sampai jadi lagi," bunyi narasi yang disampaikan oleh seorang perempuan dikutip SINDOnews, Rabu (6/11/2024).
BEM UI juga melengkapi video unggahannya dengan keterangan yang senada.
"Demi apa, sih, bisa dapat gelar akademik secepat kilat dari "World Class University"? Yang minat bisa tanyakan testimoni ke Bahlil Lahadalia, ya!" tulis akun BEM UI.
Untuk diketahui, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia resmi meraih gelar doktor dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia (UI). Hal itu menimbulkan pertanyaan publik arena gelar S3 Bahlil didapat kurang dari 2 tahun. Sementara biasanya kuliah S3 itu diselesaikan dalam kurun waktu 3 tahun.
Kepala Biro Humas dan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) UI Amelita Lusia menjelaskan, Bahlil tercatat sebagai mahasiswa SKSG UI tahun 2022 dan mengambil jalur riset.
"Pak Bahlil tercatat sebagai mahasiswa program doktor pada SKSG UI mulai pada tahun akademik 2022/2023 term 2 hingga 2024/2025 term 1, jalur riset," katanya ketika dikonfirmasi SINDOnews, Rabu (16/10/2024).
Amelita menjelaskan, masa studi mahasiswa program doktor jalur riset itu sesuai dengan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2026 tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI.
"Pasal 14 menyebutkan bahwa Program Doktor dirancang untuk 6 (enam) semester, dan dapat ditempuh sekurang-kurangnya dalam 4 (empat) semester dan selama-lamanya 10 (sepuluh) semester," jelasnya.
Disertasi Bahlil Lahadalia
Sementara itu melalui siaran pers, Bahlil berhasil meraih gelar doktor setelah mempertahankan disertasi bertajuk "Kebijakan, Kelembagaan, dan Tata Kelola Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia". Sidang Promosi Doktor berlangsung di Makara Art Center (MAC) UI. Sidang tersebut diketuai oleh Prof. Dr. I Ketut Surajaya dengan Prof. Dr. Chandra Wijaya sebagai promotor, serta Dr. Teguh Dartanto, dan Athor Subroto, sebagai ko-promotor.
Tim penguji terdiri dari para ahli seperti Dr. Margaretha Hanita, Prof. Dr. A. Hanief Saha Ghafur, Prof. Didik Junaidi Rachbini, Prof. Dr. Arif Satria, dan Prof. Dr. Kosuke Mizuno.
Disertasi Bahlil menyoroti pentingnya reformulasi kebijakan hilirisasi nikel di Indonesia untuk menciptakan keadilan dan keberlanjutan bagi masyarakat, pengusaha, dan pemerintah daerah. Dalam penelitiannya, ia menemukan bahwa hilirisasi saat ini menghasilkan dampak positif, khususnya bagi pemerintah pusat dan investor melalui peningkatan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), investasi, dan ekspor. Namun, ia juga mengidentifikasi empat masalah utama yang perlu segera disikapi.
"Pemerintah daerah belum mendapat dana transfer yang adil untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan lingkungan di daerah. Pengusaha daerah juga belum terlibat secara maksimal dalam ekosistem hilirisasi, sementara hilirisasi masih didominasi oleh investor asing. Selain itu, investor di daerah belum memiliki rencana diversifikasi jangka panjang yang berdampak pada keberlanjutan hilirisasi di masa mendatang," ujar Bahlil.
Bahlil merekomendasikan empat kebijakan utama untuk menjawab tantangan tersebut. Pertama, reformulasi alokasi dana bagi hasil terkait aktivitas hilirisasi agar lebih adil bagi pemerintah daerah. Kedua, penguatan kebijakan kemitraan dengan pengusaha daerah untuk menciptakan nilai tambah lokal.
Ketiga, penyediaan pendanaan jangka panjang bagi perusahaan nasional yang terlibat dalam hilirisasi. Terakhir, kewajiban diversifikasi jangka panjang bagi investor guna memastikan keberlanjutan setelah cadangan mineral habis.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya pembentukan Satuan Tugas dengan mandat dari Presiden untuk mengoordinasikan kebijakan hilirisasi, baik dengan pemerintah maupun pelaku usaha, serta mengusulkan penguatan tata kelola yang berorientasi pada hasil konkret, penerapan conditionalities, dan pendekatan yang iteratif dan eksperimental.
"Saya berharap temuan dalam penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah atau pemangku kepentingan lain di Indonesia yang terlibat dalam pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi panduan dalam mereformulasi kebijakan hilirisasi nikel dan memperkuat kelembagaan serta tata kelola untuk mendukung hilirisasi industri sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan," ujarnya.