Masalah Hukum Judi Online
Romli Atmasasmita
JUDI online (judol) kini tengah marak diperbincangkan masyarakat. Konon, sejak 2018 hingga 10 Mei 2022 telah diputus akses 499.645 konten perjudian di pelbagai platform digital, dan lebih dari 3 juta nasabah di perbankan terlibat judol. Dalam keterangan persnya pada 26 Juli 2024, PPATK menyatakan secara keseluruhan anak-anak dari usia 11-19 tahun berjumlah 197.054 dan total depositnya mencapai Rp293,4 miliar.
Di samping fakta tersebut, dalam konferensi pers, PPATK merinci rentan usia anak. Jumlah anak usia di bawah 11 tahun yang terlibat judi online mencapai 1.160 orang anak. Anak-anak tersebut melakukan transaksi sebanyak 22 ribu kali dengan total perputaran uang lebih dari Rp3 miliar. Dipastikan bahwa usia anak-anak pada umumnya di bawah 16 tahun. Akan tetapi, batas usia seorang dapat diminta pertanggungjawaban pidana berdasarkan UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, adalah di bawah usia 18 tahun. Sedangkan berdasarkan KUHP -Pasal 45, batas usia dewasa yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana adalah di bawah 16 tahun.
Di dalam KUHP Pasal 303, perjudian diancam pidana paling lama 10 tahun dan pidana denda paling banyak Rp25 juta terhadap setiap orang yang sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu atau dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata cara, atau menjadikan turut serta pada permainan judi seperti pencarian.
Akan tetapi, dalam Pasal 303 bisa masih diberikan kemungkinan perjudian berizin. Merujuk pada ketentuan perjudian menurut KUHP menunjukkan bahwa perjudian termasuk kejahatan kesusilaan, akan tetapi tidak berlaku terhadap judi online, dilakukan melalui sarana siber. Sedangkan judol telah menyentuh pelaku anak-anak sampai ke tingkat kecamatan, kabupaten, kota, dan provinsi dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa serta dampak negatif yang mengerikan.
Sedangkan ketentuan KUHP tidak berlaku terhadap judol dengan sarana siber, baik untuk pencegahan maupun untuk penindakan yang berujung penghukuman. Pemerintah kemudian telah memberlakukan kejahatan yang dilakukan melalui sarana siber termasuk judol yaitu Undnag-Undang Nomor 11 Tahun 2008 yang diubah UU Nomor 19 Tahun 2016 dengan ancaman hukuman penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan UU ITE Tahun 2016, diharapkan judol dapat dicegah dan diancam pidana sebagaimana ditentukan dalam UU ITE. Akan tetapi, tidak memadai terhadap anak-anak di bawah usia 18 tahun, karena ketentuan pidana dalam Pasal 45 KUHP hanya berlaku terhadap seseorang yang belum dewasa di bawah usia 16 tahun.
Berdasarkan UU Perlindungan Anak mengalami perubahan batas usia pertangungjawaban pidana, yaitu di bawah 18 tahun, sekalipun hakim hanya menjatuhkan putusan diserahkan kepada pemerintah dalam hal ini Lapas Khusus Anak atau dikembalikan kepada keluarganya dengan pengawasan pihak lapas.
Namun demikian, judol telah terbukti termasuk kejahatan yang bersifat lintas batas teritorial- kejahatan transnasional yang pencegahan maupun penindakannya dipastikan akan menghadapi hambatan-hambatan tidak hanya masalah kesadaran sosial akan bahayanya perjudian.
Sudah saatnya pemerintah membina sedini mungkin kerja sama antara negara untuk mencegah dan menindak judol ini. Sejalan dengan tujuan tersebut, Indonesia telah menjadi negara peratifikasi perjanjian regional mengenai bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (ASEAN Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters).