Adab Memilih Pemimpin dalam Islam: Dahulukan Pertimbangan Agama

Adab Memilih Pemimpin dalam Islam: Dahulukan Pertimbangan Agama

Terkini | sindonews | Selasa, 26 November 2024 - 05:15
share

PILKADA 2024 akan digelar serentak pada 27 November 2024 di 34 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Hanya Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten/kota di DKI Jakarta yang tidak menggelar pilkada. Lalu, bagaimana adab Islam dalam memilih pemimpin?

Sistem demokrasi yang ada saat ini tidak ditemukan dalam sistem pemerintahan Islam sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemilihan Abu Bakar menjadi Khalifah dilakukan oleh kelompok yang memperdebatkan siapa yang layak menjadi pemimpin.

Akan tetapi pada akhirnya mereka semua menerima yang terbaik menjadi pemimpin mereka dan semua masyarakat terlibat dalam pembaiatan khalifahnya.

Samsudin dalam "Fiqih Demokrasi, Menguak Kekeliruan Pandangan Haramnya Umat Terlibat Pemilu dan Politik(Gozian Press, 2013) menyebutkan bila ditelusuri pandangan para ulama, terdapat perbedaan hukum dalam memilih dalam pemilu.

Kelompok pertama, yaitu yang mengharamkan pemilu sebagai mana dipraktikkan sekarang ini.

Menurut kelompok ini, pemilu sekarang sudah tidak sesuai dengan syariah. Ini karena pemilu hukumnya tidak boleh atau haram, maka tidak boleh menempuh atau mempraktikkan metode pemilu dalam bentuk seperti yang dipraktikkan hari ini. Di sisi lain, Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa golput atau tidak memilih dalam pemilu hukumnya haram. Hal ini sesuai hasil ijtima’ Ulama di kota Padang Panjang Sumatera Barat pada tahun 2009.

Ketika ada pemimpin yang memenuhi syarat sesuai dengan ajaran Islam, maka seorang individu diwajibkan memilih. Jika tidak memilih hukumnya haram

Dalam kondisi pemerintahan dan negara demokrasi, seseorang harus memperhatikan dan memahami arti dan konsekuensi hukum Islam. Pada satu sisi ada pendapat ulama menyatakan hukumnya haram dan tidak ada ketentuan tentang sistem pemilihan umum.

Ada pandangan yang mengatakan bahwa Hukum Islam mengajarkan untuk memahami dan mengetahui syarat-syarat seorang yang layak dijadikan pemimpin karena pemimpin merupakan penentu nasib dan arah kebijakan sebuah negara yang dikuasainya.

Ketika seorang pemilih menentukan pilihannya, secara hakiki dia telah memberikan kesaksian dan perwakilannya kepada yang dipilihnya.

Untuk itu dalam hal ini perlu ketelitian dan pertimbangan yang baik. Dengan tetap memperhatikan ketentuan hukum yang telah di tetapkan karena memilih seseorang baik menjadi pemimpin eksekutif dan legislatif merupakan amanah secara langsung kepada yang diberikan.

Hal ini ditegaskan oleh Allah dalam Qur’an Surah An Nisa ayat 58 sebagai berikut:

Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat”.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Allah mengabarkan bahwa Dia memerintahkan untuk menunaikan amanat kepada ahlinya. Hal itu mencakup seluruh amanah yang wajib bagi manusia berupa hak-hak Allah terhadap para hambanya seperti salat, zakat, puasa, kafarat, nazar. Dan selain dari itu yang kesemuanya adalah amanah yang diberikan tanpa pengawasan hambanya yang lain. Serta amanah yang berupa hak-hak sebagian hamba dengan hamba yang lainnya, seperti titipan dan selanjutnya, yang kesemuanya adalah amanah yang dilakukan tanpa pengawasan saksi.

Kesalahan Pemilih

Fenomena yang dapat disaksikan selama ini, banyaknya kritik, protes dari masyarakat terhadap penguasa, seolah-olah menyalahkan pemimpin itu sendiri.

Akan tetapi hal ini bukan semata-mata kesalahan dari penguasa, melainkan karena masyarakat terkadang tidak berpikir dan bersikap bijak pada saat pemilihan. Tak sedikit pemilih hanya tergoda dengan isu dan janji-janji kampanye para calon pemimpin.

Setelah dilantik terkadang masyarakat tidak menyadari akan kesalahannya sendiri dalam menentukan pilihannya.

Padahal sesungguhnya rakyat harus taat dan patuh kepada pimpinannya selama pimpinan itu berada pada aturan agama. Masyarakat yang telah memenuhi syarat dalam negara demokrasi berhak menentukan hak pilihnya. Kewajiban merupakan hal yang mudah diucapkan, akan tetapi fakta dan pengaplikasiannya sangat berat.

Kewajiban adalah satu hal yang menjadi keharusan untuk dilaksanakan. Oleh karena itu kewajiban dalam menentukan perubahan dalam menata pemerintahan tentunya menjadi tanggung jawab semua pihak di antaranya orang yang mempunyai kemampuan untuk memimpin.

Abu Bakar yang merupakan Khalifah pertama setelah Nabi Muhammad wafat dalam pidato pertamanya setelah diangkat menjadi khalifah, seperti dikutip dari A. Syalabi oleh Siri (2017) dalam buku Sejarah Kebudayaan Islam sebagai berikut:

“Wahai manusia saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antaramu. Maka jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutlah aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka betulkanlah! Orang yang kamu pandang kuat saya pandang lemah, hingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah saya pandang kuat, sehingga saya dapat mengembalikan haknya kepadanya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-nya, tetapi bilamana aku tiada menaati Allah dan Rasul-Nya kamu tak perlu menaatiku”.

Dari isi pidato Abu bakar tersebut, dapat dipahami bahwa seorang pemimpin adalah orang yang mengemban amanah seluruh masyarakat yang dipimpinnya.

Memilih Pemimpin yang Baik

Masyarakat telah memberikan amanah kepada seseorang untuk menjadi pemimpin secara tidak langsung mereka merupakan wakil seorang pemilih.

Tindakan dan perilaku yang dilakukan oleh pemimpin akan berdampak kepada pemilihnya jika seorang memilih tanpa sesuai dengan syarat dan kriteria yang ditetapkan Agama.

Memahamkan masyarakat untuk memilih pemimpin yang baik itu sangat penting. Jangan hanya dipengaruhi oleh orang yang tidak mempunyai kompetensi sebagai pemimpin yang akan dapat merusak tatanan pemerintah.

Zulkarnaini dalam "Memilih Pemimpin Menurut Al-Qur’an Dan Sunnah" (Jurnal Manajemen Dakwah, 2018) mengatakan agama merupakan prioritas utama dalam menentukan pemimpin tersebut. Dalam hadis dinyatakan bahwa mendahulukan pertimbangan agama dalam memilih pasangan rumah tangga adalah syarat untuk memperoleh keberuntungan.

Dalam hadis lain dinyatakan bahwa yang akan dipilih menjadi pemimpin (amir) itu adalah seseorang yang layak diutamakan sebagai imam salat.

Dalam menata pemerintahan, pemimpin adalah orang yang paling berpengaruh dalam menentukan nasib bangsa, negeri dan masyarakatnya. Untuk itu memimpin sebuah pemerintahan dibutuhkan orang yang ahli dan mempunyai kapasitas yang mumpuni sehingga akan dapat mengantarkan pemerintahan yang baik dan berkualitas.

Akan tetapi tidak dapat dipungkiri realitas saat ini banyaknya muncul semangat orang berkeinginan menjadi pemimpin, apalagi sistem demokrasi yang memberikan kebebasan dan peluang sebesar-besarnya bagi semua kalangan untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin. Tapi terkadang hasil dari pemilihan tersebut kurang baik dan maksimal karena dalam sistem demokrasi menyamaratakan semua kalangan baik cendekiawan dan orang berilmu dengan orang yang sama sekali tidak memiliki ilmu pengetahuan.

Akhirnya tidak heran jika hasil pemilihan dari proses pemilihan berdampak kurang baik dalam mengelola kepemimpinan dan pemerintahan.

Sistem demokrasi dan abainya kita dalam memberikan pemahaman tentang perlunya memilih pemimpin yang baik kepada masyarakat membawa dampak buruk dalam pengelolaan pemerintahan.

Apalagi ditambah dengan sistem demokrasi dengan praktik politik uang yang semakin menghancurkan bangsa dan masyarakat.

Topik Menarik