Hardikan dan Candaan: Ketika Komunikasi Menjadi Luka Psikologis
Nugroho Agung Prasetyo, S.Sos, MSI Praktisi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia/ISKI Pusat
DI era digital saat ini, banyak konten mengangkat isu perundungan atau bullying, tidak hanya merujuk pada kekerasan fisik, tetapi juga bentuk verbal yang sering kali tersembunyi di balik candaan atau hardikan. Sayangnya, banyak yang menganggap ucapan seperti "hanya bercanda" sebagai hal sepele tanpa menyadari dampaknya yang mendalam pada psikologis penerimanya.
Beberapa kasus terkini menggambarkan betapa seriusnya dampak dari perundungan ini. Sepanjang tahun 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) melaporkan 30 kasus perundungan di sekolah, meningkat dari tahun sebelumnya. Ironisnya, beberapa kasus berujung pada tragedi, seperti di Sukabumi dan Blitar, di mana korban kehilangan nyawa akibat perundungan yang tak tertahankan.
Dalam ajang Oscar 2022, komedian Chris Rock membuat candaan tentang penampilan Jada Pinkett Smith, istri Will Smith, yang mengalami alopecia (kondisi medis yang menyebabkan rambut rontok). Candaan ini memicu respons emosional dari Will Smith, yang secara spontan menampar Chris Rock di atas panggung. Walaupun reaksi fisik Will Smith mendapat banyak kritikan, namun simpati terhadap keluarganya karena candaan tersebut juga bermunculan karena candaan tersebut dianggap melukai secara personal.
Sebagai figur publik, komunikasi menjadi alat utama untuk membangun citra dan memengaruhi publik. Namun, bercanda dalam komunikasi bisa menjadi pedang bermata dua. Humor yang tidak tepat dapat merusak reputasi, menciptakan ketersinggungan, atau bahkan memicu konflik. Oleh karena itu, seorang public figure perlu memahami cara bercanda yang lentur, efektif, namun tetap menghormati orang lain.
Perundungan verbal—dengan hardikan, julukan kasar, atau candaan yang merendahkan—tidak kalah menyakitkan. Sebuah studi menunjukkan bahwa ucapan yang menyakitkan ini bisa meninggalkan luka psikologis yang mendalam, termasuk stres, kecemasan, depresi, bahkan penurunan kepercayaan diri.
Ketika seseorang mengatakan, "Ah, cuma bercanda," mereka sering kali mengabaikan dampak dari kata-kata tersebut pada penerima. Hardikan atau ejekan, meskipun tidak dimaksudkan untuk menyakiti, dapat diterima dengan cara yang berbeda oleh orang lain. Psikolog komunikasi menjelaskan bahwa setiap individu memiliki sensitivitas emosional yang unik. Kata-kata yang terdengar ringan bagi satu orang, bisa menjadi beban berat bagi yang lain.
Kasus di Cilacap dan Balikpapan menjadi contoh nyata betapa seriusnya perundungan verbal. Di Cilacap, seorang siswa SMP dianiaya secara fisik, namun akar masalahnya berawal dari ejekan verbal yang memicu konflik. Hal serupa terjadi di Balikpapan, di mana seorang anak dianiaya setelah menjadi bahan lelucon oleh teman sebayanya.
Dampak Psikologis yang Mengkhawatirkan Korban perundungan verbal sering kali merasa terisolasi, tidak berdaya, dan kehilangan rasa aman. Menurut data dari Journal of Social Science and Humanities, mereka cenderung mengalami gangguan mental seperti kecemasan kronis, depresi, hingga risiko bunuh diri. Efek ini tidak hanya memengaruhi keseharian mereka, tetapi juga prestasi akademik dan kemampuan sosial.
Di sisi lain, pelaku perundungan, meskipun mungkin tidak menyadarinya, juga menghadapi konsekuensi psikologis. Perilaku ini sering kali menjadi pola yang merusak hubungan interpersonal mereka di masa depan.
Untuk memutus siklus perundungan, penting bagi masyarakat untuk meningkatkan literasi komunikasi psikologi. Literasi ini mencakup pemahaman tentang komunikasi empati, asertivitas, dan kesadaran emosional.
Empati merupakan kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan orang lain sebelum berkata atau bertindak. Asertivitas adalah soal cara menyampaikan pendapat tanpa menyakiti perasaan orang lain. Dan, Kesadaran emosional merupakan pemahaman kita bahwa setiap kata memiliki konsekuensi psikologis.
Kampanye edukasi seperti "Bicara Baik" yang digaungkan Perhimpunan Humas Indonesia (Perhumas) dan didukung Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dapat menjadi langkah menarik yang efektif. Dengan mendorong budaya komunikasi yang lebih positif, masyarakat dapat belajar untuk menghindari ucapan atau tindakan yang merugikan orang lain.
Di sisi lain, masyarakat juga harus pro-aktif melakukan langkah bersama menciptakan budaya komunikasi yang lebih baik. Sekolah misalnya, perlu menyediakan materi khusus tentang dampak perundungan dan pentingnya komunikasi yang sehat untuk siswanya, serta mengajak para pengajar (termasuk guru) dan orangtua mengembangkan komunikasi yang lebih baik dan kemampuan mendeteksi tanda-tanda perundungan dan cara menanganinya.
Sekolah dan komunitas juga perlu menyediakan layanan konseling untuk korban perundungan. Sementara itu, pemerintah juga hadir dengan regulasi yang lebih baik menerapkan kebijakan anti-bullying yang tegas di lingkungan pendidikan dan masyarakat.
Ucapan, baik dalam bentuk candaan atau hardikan, bukanlah hal sepele. Kata-kata memiliki kekuatan untuk membangun atau meruntuhkan seseorang. Di tangan yang salah, komunikasi bisa menjadi senjata yang menyakitkan. Namun, jika digunakan dengan baik, komunikasi bisa menjadi alat untuk saling mendukung dan membangun.
"We are masters of the unsaid words, but slaves of those we let slip out," begitulah ungkapan Winston Churchill tentang kekuatan dan tanggung jawab dalam komunikasi. Kita sepenuhnya mengendalikan kata-kata yang belum kita ucapkan dan memiliki kebebasan memilih pesan yang akan kita sampaikan. Komunikasi yang bijak berawal dari cara berpikir yang baik, mempertimbangkan dampak, dan pemilihan cara komunikasi.
Kata yang telah terucap keluar dari kendali kita, dan dapat berdampak kebaikan. Di sisi lain, pesan yang mengandung perundungan ataupun bullying berpotensi disalahartikan, melukai perasaan, atau menciptakan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Kita menjadi "budak" dari kata-kata yang kita keluarkan tersebut, karena harus menghadapi dampaknya, baik positif maupun negatif. Dengan memahami dampak psikologis dari kata-kata, kita dapat menciptakan pesan positif yang lebih sehat, di mana setiap orang merasa dihargai dan didengarkan. Seperti kata pepatah, "Kata-kata itu seperti pedang, gunakanlah dengan bijak." Mari kita mulai berbicara dengan lebih baik, agar kita tidak hanya menyembuhkan luka, tetapi juga mencegahnya terjadi.