Perang Dagang dan Prospek Industri Perhotelan Indonesia
Ari RespatiDirut Injourney Tourism Development Corporation
KEBIJAKAN perang dagang Presiden Donald Trump memberikan dampak signifikan terhadap industri perjalanan wisata global, termasuk sektor pariwisata Indonesia. Pengenaan tarif impor yang tinggi terhadap sejumlah produk dari berbagai negara memicu ketegangan perdagangan internasional dan berdampak pada perlambatan ekonomi global.
Akibatnya, daya beli masyarakat di beberapa negara mitra dagang utama Amerika Serikat menurun, yang turut mempengaruhi alokasi pengeluaran untuk aktivitas konsumtif, termasuk perjalanan wisata.
Negara-negara dengan ketergantungan tinggi terhadap ekspor juga mengalami tekanan ekonomi, yang berdampak pada menurunnya jumlah wisatawan mancanegara ke destinasi seperti Indonesia.
Di tengah tantangan ini, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyatakan bahwa sektor pariwisata tetap menjadi motor ekonomi karena merupakan bentuk ekspor jasa yang tidak terdampak tarif perdagangan. Namun, kendati optimisme ini penting, sektor perhotelan nasional tetap menghadapi berbagai tantangan tambahan.
Bahkan harus diakui, kendala yang dihadapi tak hanya datang dari kebijakan Presiden Trump. Sebelumnya, Industri pariwisata Indonesia menghadapi tantangan signifikan berupa kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 menjadi 12, yang meningkatkan biaya operasional hotel dan berpotensi menurunkan daya beli masyarakat.
Selain itu, pemotongan anggaran belanja pemerintah yang berdampak pada pengurangan anggaran perjalanan dinas pemerintah sebesar 50 menyebabkan berkurangnya pemesanan kamar hotel dari sektor pemerintahan, yang sebelumnya merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi banyak hotel.
Penurunan daya beli masyarakat juga berkontribusi pada rendahnya tingkat okupansi hotel selama periode libur. Pada libur Lebaran 2025, misalnya, rata-rata okupansi hotel menurun hingga 15
Untungnya, di tengah kekhawatiran, sektor pariwisata Indonesia tetap menunjukkan potensi pertumbuhan. Daya tarik destinasi lokal diduga masih bisa menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara hingga 15 pada 2025. Bahkan, pelemahan rupiah justru membuat Indonesia lebih menarik bagi wisatawan dengan mata uang kuat.
Kalau industri pariwisata masih bisa bernafas, maka industri perhotelan Indonesia juga masih memiliki peluang untuk menyala di masa gelap. Ada sejumlah langkah strategis yang dapat dilakukan. Syaratnya, perlu langkah besar kolaborasi antara seluruh pelaku pariwisata dengan pemerintah daerah.
Ini bertujuan untuk menciptakan pusaran ekonomi baru dan mempercepat perputaran uang di masyarakat daerah tertentu. Salah satu contoh kegiatan yang dapat dilakukah adalah menghidupkan kembali Jakarta Great Sale yang melibatkan seluruh komponen masyarakat termasuk pelaku UMKM daerah untuk bergerak.
Selain itu industri hotel perlu mengoptimalkan efisiensi operasional dengan memanfaatkan teknologi. Menurut laporan PHRI (2025), sekitar 72 hotel di Indonesia telah mulai mengadopsi sistem manajemen properti berbasis cloud untuk mengurangi biaya operasional dan meningkatkan efisiensi layanan.
Teknologi ini memungkinkan pengelolaan reservasi, pembayaran, dan komunikasi dengan tamu secara lebih efektif, sehingga meningkatkan kepuasan pelanggan tanpa menambah beban biaya.
Diversifikasi pasar mendorong pertumbuhan segmen wisatawan individual, baik untuk tujuan bisnis maupun liburan. Selama ini, sebagian besar hotel di Indonesia masih sangat bergantung pada pasar MICE (Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions), yang mayoritas berasal dari instansi pemerintah dan BUMN. Ketergantungan ini telah berlangsung cukup lama, sehingga pasar pemerintahan dianggap sebagai yang paling stabil dan berkelanjutan.
Transformasi, Kerja Sama dan Stabilitas
Kita bisa belajar dari transformasi yang terjadi di Bangkok dalam dua dekade terakhir. Peningkatan signifikan pada segmen wisatawan individual -baik bisnis maupun leisure- terjadi seiring dengan meningkatnya kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi Thailand.Pada tahun 2023, Thailand mencatat total pendapatan sebesar USD 29,7 miliar dari sektor pariwisata internasional, dengan jumlah kunjungan mencapai 28,15 juta wisatawan mancanegara.
Angka ini menunjukkan bahwa industri pariwisata Thailand telah berhasil membangun kepercayaan global dan menjadi destinasi yang dipilih para pelancong untuk menghabiskan waktu liburan mereka.
Menurut survei Booking.com tahun 2025, sebanyak 81 wisatawan global menyatakan bahwa mereka lebih memilih hotel yang tidak hanya menawarkan pengalaman menginap yang unik, tetapi juga memiliki komitmen terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.
Temuan ini menunjukkan adanya pergeseran preferensi wisatawan modern yang kini lebih sadar terhadap isu-isu lingkungan, budaya lokal, dan dampak sosial dari aktivitas pariwisata.
Nah, industri perhotelan di Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat kebutuhan pasar lokal dengan mengembangkan konsep hospitality berbasis pengalaman dan keberlanjutan.
Misalnya, dengan menghadirkan keragaman budaya lokal, menyajikan kuliner khas daerah, melibatkan komunitas sekitar dalam operasional hotel, serta menerapkan praktik ramah lingkungan seperti pengelolaan sampah, efisiensi energi, dan penggunaan bahan-bahan organik dan lokal.
Selain itu, pelaku usaha perhotelan perlu meningkatkan kerja sama dalam menghadapi tarif impor tinggi untuk meningkatkan daya saing dan efisiensi operasional.
Dengan membentuk aliansi atau jaringan, hotel-hotel dapat berbagi sumber daya, seperti pemasok bahan baku lokal, yang dapat mengurangi ketergantungan pada barang impor yang terkena tarif tinggi.
Selama ini, sekitar 40 biaya operasional hotel berasal dari bahan baku dan peralatan yang diimpor. Dengan berkolaborasi, hotel dapat menegosiasikan harga yang lebih baik dan mendapatkan akses ke produk lokal berkualitas tinggi. Kerja sama ini tidak hanya menguntungkan secara finansial, tetapi juga memperkuat posisi tawar di pasar.
Kerja sama antara industri perhotelan dan sektor lain, termasuk perbankan, juga sangat relevan untuk bertahan di masa perang dagang.
Pemerintah dapat mendorong kerja sama industru perhotelan dengan kalangan UMKM untuk memperkuat rantai pasokan lokal dan mengurangi ketergantungan pada barang impor yang terkena tarif tinggi. Kemitraan ini tidak hanya meningkatkan daya saing hotel, tetapi juga memberdayakan ekonomi lokal.
Selain itu, kolaborasi dengan perbankan memungkinkan hotel untuk menawarkan program pembiayaan yang lebih fleksibel bagi pelanggan dan pemilik usaha. Data menunjukkan bahwa 65 tamu lebih memilih fasilitas pembayaran yang mudah dan terjangkau.
Dengan menawarkan kemudahan akses ke layanan keuangan, industri perhotelan dapat meningkatkan okupansinya, meskipun dalam kondisi ekonomi yang sulit.
Di luar itu, stabilitas politik, keamanan, dan penegakan hukum merupakan faktor krusial bagi pertumbuhan industri perhotelan. Ketiga aspek ini sangat memengaruhi tingkat kepercayaan wisatawan.
Negara dengan stabilitas politik yang baik dapat mengalami peningkatan kunjungan wisatawan hingga 15, sementara negara yang menghadapi ketidakstabilan justru berisiko mengalami penurunan kunjungan hingga 20.
Keamanan yang terjaga juga menjadi fondasi utama bagi terciptanya pengalaman wisata yang positif. Tanpa rasa aman, industri perhotelan akan sulit berkembang.
Penegakan hukum yang efektif juga diperlukan untuk melindungi investasi, serta mendorong pengembangan hotel dan fasilitas pariwisata lainnya.
Dengan demikian, kombinasi antara stabilitas politik, keamanan, dan kepastian hukum menjadi pilar utama dalam menarik wisatawan sekaligus memperkuat pertumbuhan industri perhotelan secara berkelanjutan.










