Kisah Sawerigading, Putra Raja Luwu yang Jatuh Hati dan Ingin Nikahi Adik Kembarnya
Kisah Sawerigading yang menikahi adik kandungnya ini menarik untuk diulas. Sawerigading merupakan salah satu tokoh legendaris dalam budaya Bugis yang berasal dari Kerajaan Luwu Purba di Sulawesi Selatan.
Kisah hidup Sawerigading, terutama hubungannya dengan adik kembarnya, We Tenriabeng, menjadi cerita turun-temurun yang penuh makna.
Nama Sawerigading sendiri memiliki arti mendalam dalam bahasa Bugis. Kata "Sawe" berarti "menetas" atau "lahir", sedangkan "ri Gading" berarti "di atas bambu betung". Dengan demikian, namanya dapat diartikan sebagai "keturunan dari orang yang lahir di atas bambu betung".
Kisah Sawerigading tercatat dalam naskah kuno Sureq Galigo, sebuah epik Bugis yang mengisahkan penciptaan dunia dan leluhur manusia. Menurut naskah ini, dunia awalnya diisi oleh para dewa, termasuk Batara Guru dari langit dan We Nyilitomo dari dunia bawah.
Batara Guru kemudian menikah dengan beberapa pengiringnya, sementara We Nyilitomo juga membangun keluarga di bumi. Dari pernikahan-pernikahan inilah lahir para penguasa di wilayah Luwu, termasuk Batara Lattu’, ayah Sawerigading.
Batara Lattu’ menikah dengan We Datu Sengeng, putri dari La Urumpassi dan We Padauleng. Dari pernikahan ini, lahirlah sepasang anak kembar emas: Sawerigading (laki-laki) dan We Tenriabeng (perempuan).
Kisah Sawerigading Ingin Menikahi Adik Kembarnya
Sejak awal, ada ramalan yang menyatakan bahwa Sawerigading dan We Tenriabeng akan saling jatuh cinta. Untuk mencegah hal tersebut, mereka dipisahkan sejak kecil dan dibesarkan di tempat yang berbeda.Namun, takdir tidak bisa dihindari. Saat dewasa, mereka akhirnya bertemu dan langsung merasakan ketertarikan satu sama lain. Sawerigading pun berniat menikahi adik kembarnya itu, meskipun hal itu dianggap tabu.
Orang tua mereka, Batara Lattu’ dan We Datu Sengeng, menolak keinginan Sawerigading. We Tenriabeng kemudian mengusulkan solusi agar kakaknya menikahi sepupu mereka, We Cudai, yang memiliki kemiripan fisik dengannya.
Sebagai tanda pengenal, We Tenriabeng memberikan selembar rambutnya, gelang, dan cincin emas kepada Sawerigading. Barang-barang ini nantinya akan digunakan untuk membuktikan kemiripan We Cudai dengan dirinya.
Sawerigading pun memutuskan untuk mencari We Cudai di negeri China, yang dalam cerita ini merujuk pada wilayah Tanete Riattang di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Setibanya di sana, Sawerigading terpesona oleh kecantikan We Cudai yang sangat mirip dengan adik kembarnya. We Cudai juga terpikat oleh ketampanan dan kegagahan Sawerigading.
Akhirnya, pernikahan antara Sawerigading dan We Cudai pun dilangsungkan. Dari pernikahan ini, lahirlah seorang putra bernama La Galigo, yang kelak menjadi tokoh penting dalam silsilah Kerajaan Luwu.
Kisah Sawerigading bukan sekadar legenda, melainkan juga mengandung nilai-nilai moral tentang larangan incest, kepatuhan pada orang tua, dan kebijaksanaan dalam mengambil keputusan.
Hingga kini, cerita ini tetap hidup dalam tradisi lisan dan sastra Bugis, menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya Indonesia. Sureq Galigo sendiri bahkan diakui sebagai salah satu karya sastra terpanjang di dunia, mengalahkan Mahabharata dan Iliad.
Dengan segala kompleksitasnya, kisah Sawerigading terus menginspirasi generasi baru untuk mempelajari sejarah, budaya dan kearifan lokal Nusantara.










