Mendikdasmen Beberkan Jurus Sakti Berantas Budaya Menyontek di Sekolah
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menanggapi serius hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menunjukkan masih maraknya praktik menyontek dan plagiarisme di lingkungan pendidikan.
Dalam acara Konsolidasi Nasional 2025 yang digelar di Gedung PPSDM Kemendikdasmen, Depok, Selasa (29/4), Mu’ti mengungkapkan bahwa tradisi menyontek di sekolah disebabkan oleh berbagai faktor mendasar.
Faktor yang dimaksud Menteri Mu'ti ada tiga, yaitu:
1. Bentuk atau model soal yang masih hafalan
2. Ada faktor tidak percaya diri murid dalam penguasaan materi
3. Orientasi Pendidikan yang masih kuantitatif
"Keberhasilan itu diukur dari berapa nilainya, berapa peringkatnya, dan sebagainya," ujar Mu'ti.
Sebagai langkah konkret, Kemendikdasmen merancang strategi baru untuk memberantas budaya menyontek: penerapan pembelajaran mendalam (deep learning).
Melalui deep learning, murid akan dilatih dengan ujian yang tidak mengandalkan pertanyaan kuantitatif namun soal-soal analisis tingkat tinggi.
"Tapi, lebih kepada berpikir tingkat tinggi, analisis yang itu semuanya tidak mungkin mereka menyontek karena semua berasal dari pemikiran-pemikiran dan juga gagasan yang memang menjadi ukuran kemampuan mereka," ujarnya.
Kemendikdasmen, lanjut Sekretaris Utama PP Muhammadiyah ini, juga berusaha untuk memperbaiki pendekatan dalam pembelajaran yang lebih berorientasi pada kualitatif, yang secara perlahan terus diperbaiki.
Mu’ti juga menekankan pentingnya menjadikan data dari survei KPK sebagai pijakan kebijakan untuk perbaikan pendidikan. "Kita tidak boleh saling menyalahkan. Ini saatnya kita introspeksi dan memperbaiki sistem bersama," tutupnya.
Sebelumnya, KPK melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024 menemukan praktik menyontek terjadi di 78 persen sekolah dan 98 persen perguruan tinggi dari total 450.000 responden. Temuan ini menjadi alarm bagi dunia pendidikan untuk segera berbenah.








