Mahkamah Agung Tak Maknai Cuti Hakim se-Indonesia sebagai Mogok Massal
JAKARTA, iNews.id - Wakil Ketua Mahakam Agung (MA) Bidang Non-Yudisial, Suharto menegaskan tak ada aksi mogok massal yang dilakukan oleh para hakim se-Indonesia. Dia juga menjelaskan periode 7-11 Oktober 2024 bukanlah merupakan jadwal cuti bersama.
"Saya harus jelaskan bahwa tidak ada mogok masal, tidak ada cuti bersama, ini nomenklatur ini dijelaskan dulu," ucap Suharto saat menerima audiensi Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) di Gedung MA, Jakarta Pusat, Senin (7/10/2024).
Dia menjelaskan, kalau cuti bersama sebenarnya telah ditentukan oleh pemerintah. Sementara pada tanggal 7-11 Oktober 2024, kebetulan para hakim mengambil hak cutinya.
"Kalau adik-adik hakim ini, kawan-kawan SHI bukan cuti bersama mereka menggunakan hak cutinya secara berbarengan karena tanggalnya mereka yang pilih ya, jadi bukan cuti bersama bukan juga mogok tapi cuti yang tanggalnya secara berbarengan dia pilih," ucapnya.
Sekedar informasi, gerakan cuti bersama ribuan hakim se-Indonesia pada 7-11 Oktober 2024, merupakan komitmen bersama seluruh hakim untuk memperjuangkan kesejahteraan, independensi, dan kehormatan lembaga peradilan di Indonesia.
“Gerakan Cuti Bersama Hakim Se-Indonesia ini akan dilaksanakan secara serentak oleh ribuan hakim mulai tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024," kata Juru Bicara Solidaritas Hakim Indonesia Fauzan Arrasyid dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/9/2024).
Fauzan mengatakan bahwa selama bertahun-tahun, kesejahteraan hakim belum menjadi prioritas pemerintah. Padahal, hakim merupakan pilar utama dalam penegakan hukum dan keadilan di negara ini.
Ketentuan mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim dalam Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 (PP 94/2012), kata Fauzan, hingga saat ini belum pernah mengalami penyesuaian, meskipun inflasi terus berjalan setiap tahunnya. "Hal ini membuat gaji dan tunjangan yang ditetapkan 12 tahun lalu menjadi sangat berbeda nilainya dibandingkan dengan kondisi saat ini," katanya.
Ketidakmampuan pemerintah menyesuaikan penghasilan hakim, kata Fauzan, jelas merupakan langkah mundur dan berpotensi mengancam integritas lembaga peradilan. "Tanpa kesejahteraan yang memadai, hakim bisa saja rentan terhadap praktik korupsi karena penghasilan mereka tidak mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Apalagi, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Putusan Nomor 23 P/HUM/2018 yang secara tegas mengamanatkan perlunya peninjauan ulang pengaturan penggajian hakim," jelasnya.
Fauzan mengungkapkan, pengaturan penggajian hakim yang diatur dalam PP 94/2012 saat ini sudah tidak memiliki landasan hukum yang kuat. "Oleh karena itu, revisi terhadap PP 94/2012 untuk menyesuaikan penghasilan hakim menjadi sangat penting dan mendesak," katanya.
Dia menuturkan bahwa sebagian para hakim juga akan berangkat ke Jakarta untuk melakukan aksi simbolik sebagai bentuk protes terhadap kondisi kesejahteraan dan independensi hakim yang telah terabaikan selama bertahun-tahun.
"Para hakim yang berangkat ke Jakarta akan melakukan audiensi, aksi protes, dan silaturrahmi dengan lembaga terkait serta tokoh nasional yang peduli terhadap isu peradilan, sebagai upaya memperjuangkan perubahan nyata bagi profesi hakim dan sistem hukum Indonesia," pungkasnya.