Industri Otomotif dan Elektronik RI Terancam Tarif Trump
IDXChannel - Kebijakan tarif impor resiprokal yang diumumkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai akan berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia, terutama sektor otomotif dan elektronik.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, kebijakan ini dapat memicu penurunan ekspor dan berpotensi resesi ekonomi di AS, yang pada gilirannya akan mempengaruhi Indonesia.
Bhima juga menanggapi keberatan AS terkait kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan hambatan impor Indonesia. Menurutnya, keberatan tersebut tidak relevan.
"Soal keberatan AS terkait kebijakan TKDN dan hambatan impor Indonesia, sebenarnya itu tidak perlu dihiraukan, karena Indonesia sebenarnya negara dengan hambatan non-tarif terendah dibanding mitra dagang utama," kata Bhima saat dihubungi IDX Channel, Kamis (3/4/2025).
Ia menambahkan, komplain AS terkait hambatan non-tarif tidak tepat sasaran. "Kalau mau utak-atik soal tarif masih dalam koridor, tapi ini AS komplainnya soal hambatan non tarif. Tidak apple to apple," tuturnya.
Menurut Bhima, pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam itu bisa jadi negatif begitu ada kenaikan tarif yang luar biasa. Pertama, konsumen AS menanggung tarif dengan harga pembelian kendaraan yang lebih mahal. Penjualan kendaraan bermotor turun di AS.
Kedua, probabilitas resesi ekonomi AS naik karena permintaan lesu. Korelasi ekonomi Indonesia dengan AS, setiap 1 persen penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08 persen.
Ketiga, produsen otomotif Indonesia tidak semudah itu shifting ke pasar domestik, karena spesifikasi kendaraan dengan yang diekspor berbeda. Imbasnya layoff alias PHK dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif di dalam negeri.
"Bukan hanya otomotif tapi juga komponen elektronik, karena kaitan antara produsen elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor. Ekspor Indonesia tertinggi ke AS adalah komponen elektronik. Jadi elektronik ikut terdampak juga," kata dia.
Sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil, alas kaki juga diperkirakan makin terpuruk. Sebagian besar brand internasional yang ada di Indonesia, punya pasar besar di AS.
6 Fakta Lesotho, Negara yang Menurut Trump ‘Tidak Pernah Didengar oleh Siapapun’
Menurut data Bhima, di tahun 2024 untuk pakaian jadi ekspor ke AS porsinya 61,4 persen dan alas kaki sebesar 33,8 persen. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah order/pemesanan ke pabrik Indonesia.
"Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif. Permendag 8/2024 belum juga direvisi, jadi ekspor sulit, impor akan menekan pemain tekstil pakaian jadi domestik. Ini harus diubah regulasinya secepatnya," kata Bhima.
Dia juga menyarankan agar pemerintah harus bersiap lomba kejar peluang relokasi pabrik, dan tidak cukup hanya bersaing dari selisih tarif resiprokal Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Kamboja.
"Kuncinya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh (RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu), kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia," ujarnya.
Faktor tersebut dinilai jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax. Apalagi, jika sebelumnya tarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental.
Bank Indonesia juga masih punya ruang untuk operasi moneter, saat cadangan devisa gemuk. "BI bahkan bisa turunkan suku bunga acuan 50 bps, untuk stimulus sektor riil yang terdampak perang dagang," ujar Bhima.
(Febrina Ratna Iskana)