Petuah Leluhur Penjaga Nilai Budaya Melayu Memudar, Penasaran Simak di Novel Kabut Tanah Tembakau

Petuah Leluhur Penjaga Nilai Budaya Melayu Memudar, Penasaran Simak di Novel Kabut Tanah Tembakau

Terkini | medan.inews.id | Rabu, 2 Oktober 2024 - 16:40
share

MEDAN, iNewsMedan.id -  Budaya Melayu Deli yang pada masa lalu sarat akan adat istiadat, kuliner, dan petuah-petuah leluhur.
begitu dijaga dan dihormati. Namun pada era saat ini berbanding terbalik.

Bagaiman kondisi Budaya Melayu Deli saat ini disorot oleh wartawan senior sekaligus penulis dalam novelnya berjudul "Kabut Tanah Tembakau"  diterbitkan pada Oktober 2024 oleh Penerbit Adab. 

Pada vovel tersebut Rizal juga memasukkan unsur budaya Melayu Deli. Melalui cerita Marlina, pembaca diajak untuk merenungkan bagaimana simbol-simbol budaya tersebut mulai memudar di era modern. Rizal menyampaikan kekhawatirannya tentang hilangnya warisan budaya lokal di tengah arus globalisasi.

Novel ini bukan hanya menggambarkan perjalanan Marlina dalam mencari jejak leluhurnya, tetapi juga merangkum berbagai persoalan sosial, politik, dan ekonomi.

Dalam novel ini, Rizal mengangkat tema tentang kerakusan harta, cinta yang membara, intrik politik, hingga pertarungan kekuasaan yang berkaitan dengan dinamika pilkada di masa depan. Hal ini menjadikan "Kabut Tanah Tembakau" lebih dari sekadar novel roman, tetapi juga karya yang menggugah kesadaran pembaca akan kompleksitas kehidupan.

 

Sejarah Perkebunan Tembakau Deli: Dari Kejayaan hingga Kemunduran

Sebagai latar belakang penting dalam novel ini, perkebunan tembakau Deli memainkan peran sentral dalam menggambarkan sejarah kolonial di Sumatera Utara. Pada akhir abad ke-19, tembakau Deli terkenal sebagai salah satu komoditas terbaik di dunia, terutama untuk bahan cerutu. Perkebunan ini dikelola oleh perusahaan-perusahaan Belanda yang mendatangkan kuli-kuli kontrak dari Tiongkok, India, dan Jawa untuk bekerja di bawah kondisi yang sangat keras.

"Bahkan Sarni, Nenek Marlina, yang wajahnya sangat mirip  sempat di bawa ke Surinme dalam pelariannya karena membunuh mandor di Perkebunan Tembakau Deli," ucap Rizal.

Para kuli kontrak ini diikat dengan perjanjian yang memaksa mereka bekerja selama periode tertentu dengan upah rendah, di tengah pengawasan ketat dan perlakuan yang sering kali tidak manusiawi. Kondisi ini menimbulkan berbagai pemberontakan dan konflik antara kuli dan para pengelola perkebunan, yang sebagian besar direfleksikan dalam kisah Marlina saat ia menyaksikan perjuangan leluhurnya melawan penindasan di masa lalu.

Perkebunan tembakau Deli terus berkembang hingga awal abad ke-20, namun seiring berjalannya waktu, industri ini mengalami kemunduran. Kemajuan teknologi dan perubahan sosial-ekonomi di Indonesia pasca-kemerdekaan, serta meningkatnya persaingan dari negara lain, menyebabkan kejayaan tembakau Deli perlahan-lahan memudar. Bangsal tempat menjemur tembakau, seperti yang diungkapkan Rizal dalam risetnya, kini hanya tinggal puing-puing sejarah.

"Kabut Tanah Tembakau" menawarkan lebih dari sekadar cerita fiksi yang memikat. Ia menggambarkan sejarah yang kaya, konflik yang kompleks, dan budaya yang hampir terlupakan. Dalam setiap lembarannya, Rizal Siregar tidak hanya mengajak pembaca untuk mengarungi perjalanan emosional Marlina, tetapi juga untuk merenungkan kembali sejarah dan warisan budaya yang membentuk identitas masyarakat Deli. Melalui novel ini, Rizal berharap generasi muda, terutama generasi G-Z, dapat belajar dari masa lalu dan terinspirasi untuk menjaga nilai-nilai budaya yang semakin tergerus oleh waktu. 

Topik Menarik