Fenomena Influencer di Media Sosial dalam Kacamata Teori Hipodermik

Fenomena Influencer di Media Sosial dalam Kacamata Teori Hipodermik

Terkini | okezone | Kamis, 3 Oktober 2024 - 12:55
share

DALAM era digital saat ini, media sosial telah menjadi salah satu alat komunikasi yang paling kuat, dengan influencer memainkan peran yang semakin dominan dalam mempengaruhi pola perilaku konsumen.

Teori Hipodermik, yang berasal dari komunikasi massa, menjelaskan bahwa media dapat langsung “menyuntikkan” pesan ke dalam pikiran audiens, menghasilkan respons yang tidak kritis. Dalam konteks fenomena influencer produk dan rekomendasi tempat hidden gem di media sosial, teori ini menawarkan perspektif yang menarik untuk menganalisis pengaruh yang diberikan oleh para influencer.

Penggunaan media sosial di era saat ini memunculkan ekosistem baru yang disebut sebagai Social Media Influencer. Media sosial memberikan kemudahan dalam berkomunikasi serta memberikan ruang untuk aktualisasi diri dengan berbagi atau membagikan minat penggunanya sehingga memunculkan sosok Social Media Influencer.

Influencer di media sosial adalah seseorang atau kelompok referensi yang bisa memberi pengaruh yang disebut sebagai “selebgram”, “blogger”, “vlogger”, “youtuber”, “content creator”, “KOL (key opinion leader)”, atau secara umum semuanya memiliki jumlah pengikut dalam jumlah besar.

Mereka menggunakan platform seperti Instagram, TikTok, dan YouTube untuk berbagi konten tentang produk dan gaya hidup. Ketika influencer mempromosikan suatu produk, mereka sering kali dianggap sebagai sumber informasi yang terpercaya oleh followers mereka.

Menurut teori hipodermik, calon pembeli menerima informasi dengan cara yang pasif, sehingga rekomendasi dari influencer bisa langsung mempengaruhi keputusan pembelian mereka.

Dengan berbagai strategi, seperti penggunaan testimonial pribadi, demonstrasi produk, dan kupon diskon, influencer dapat menciptakan kebutuhan yang seolah-olah sudah ada dalam diri konsumen. Pemasaran ini tidak hanya berorientasi pada penjualan, tetapi juga pada pembentukan citra diri dan aspirasi audiens. Misalnya, jika seorang influencer menunjukkan produk skincare tertentu dalam rutinitas harian mereka, followers cenderung terpicu untuk mencoba produk tersebut demi mengejar citra kecantikan yang dipromosikan.

Konsep penyebutan “hidden gem”, atau tempat-tempat tersembunyi yang jarang diketahui orang, juga menjadi tren di kalangan influencer. Destinasi ini sering kali dipromosikan melalui konten visual yang menawan di media sosial. Dengan menciptakan narasi yang menggugah rasa penasaran, influencer berhasil menarik perhatian followers untuk menjelajahi lokasi-lokasi yang tidak umum.

Menggunakan teori hipodermik, kita dapat melihat bagaimana rekomendasi ini mampu mempengaruhi perilaku wisatawan. Ketika seorang influencer mengunjungi suatu lokasi dan mengunggah foto-foto indahnya, banyak followers merasa terdorong untuk mengunjungi tempat tersebut. Rasa ketertarikan dan keinginan untuk mengalami apa yang dilihat di media sosial dapat memicu lonjakan pengunjung ke tempat-tempat tersembunyi ini.

Teori jarum hipodermik atau dikenal juga dengan sebutan teori peluru merupakan salah satu teori komunikasi massa khususnya teori efek media massa yang digagas oleh Harold Lasswell pada tahun 1920-an ketika menulis sebuah buku “propaganda technique” semasa perang dunia.

Teori jarum hipodermik merupakan salah satu model komunikasi linear yang menitik beratkan pada kekuatan pengaruh media terhadap khalayak. Teori ini memiliki banyak istilah lain. Biasa kita sebut Hypodermic Needle (teori jarum suntik), Bullet Theory (teori peluru) Transmission Belt Theory (teori sabuk transmisi).

Ada beberapa asumsi teori jarum suntik, yaitu : 

- Komunikator yakni media massa digambarkan lebih pintar dan juga lebih segalanya dari audience atau khalayak.

- Audiens yang memiliki opini yang sama terhadap suatu isu disebabkan oleh samanya perolehan pesan yang mereka terima dari suatu media. 

Fenomena influencer produk dan rekomendasi tempat hidden gem di media sosial menunjukkan bagaimana teori hipodermik masih relevan dalam menganalisis pengaruh media terhadap perilaku konsumen.

Dengan cara yang langsung dan terkadang tidak kritis, influencer dapat mempengaruhi keputusan konsumen untuk membeli produk atau mengunjungi tempat-tempat tertentu. Di dunia yang semakin terhubung secara digital, memahami dinamika ini menjadi penting bagi para pemasar dan peneliti untuk mengoptimalkan strategi komunikasi mereka.

Dengan meningkatnya peran influencer di media sosial, penting bagi konsumen untuk tetap kritis dan selektif dalam menerima informasi yang disajikan. Mengembangkan kesadaran akan pengaruh media ini akan memungkinkan individu untuk membuat keputusan yang lebih baik, baik dalam aspek konsumsi produk maupun dalam memilih destinasi wisata.

Penulis: 

Bintang Ramasalsa Indrabudi

Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi

Universitas Pembangunan Nasional yeteran Jakarta (UPN VJ)

Disclaimer : Artikel ini merupakan opini penulis dan tidak mewakili sikap redaksi Okezone.com. 


Topik Menarik