6 Alasan Kenapa Jaminan Kesehatan Mantan Menteri Harus Dibatalkan

6 Alasan Kenapa Jaminan Kesehatan Mantan Menteri Harus Dibatalkan

Terkini | sindonews | Jum'at, 18 Oktober 2024 - 12:52
share

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat membeberkan, setidaknya ada 6 alasan kenapa memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri dan keluarganya, dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dibatalkan.

Menurutnya, kebijakan yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2024, tidak adil dan harus dibatalkan. Kebijakan ini terang Achamd, mencerminkan ketidakadilan dalam alokasi anggaran, menambah beban pada APBN, melanggar prinsip keadilan sosial, serta berisiko terhadap transparansi dan akuntabilitas.

Baca Juga: Lukai Rasa Keadilan! Jaminan Kesehatan Mantan Menteri Hanya Jadi Beban APBN

"Di saat masyarakat luas menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah seharusnya mengutamakan kepentingan rakyat, bukan elit politik. Kebijakan ini sebaiknya ditinjau ulang atau bahkan dibatalkan untuk memastikan bahwa anggaran negara digunakan secara lebih adil dan efisien," paparnya di Jakarta, Jumat (18/10/2024).

Berikut 6 alasan kenapa memberikan jaminan kesehatan bagi mantan menteri harus dibatalkan:

1. Ketidakadilan dalam Alokasi Anggaran

Salah satu argumen utama melawan kebijakan ini adalah ketidakadilan dalam alokasi anggaran. Para menteri adalah bagian dari kelompok elit yang selama masa jabatannya telah menerima berbagai tunjangan dan fasilitas negara, termasuk asuransi kesehatan yang baik.

Sementara itu, mayoritas masyarakat Indonesia, terutama golongan menengah ke bawah, seringkali kesulitan mengakses layanan kesehatan yang layak.

"Menetapkan kebijakan yang mengalokasikan sumber daya negara untuk mantan pejabat yang sudah berada dalam posisi ekonomi yang kuat, ketika banyak rakyat yang membutuhkan perhatian kesehatan dasar, adalah kebijakan yang tidak seimbang," paparnya.

Menurutnya, Pemerintah harus mengutamakan alokasi anggaran untuk kebutuhan mendesak masyarakat yang lebih luas, seperti meningkatkan pelayanan kesehatan di daerah-daerah terpencil, memperluas cakupan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), atau mengurangi angka kematian ibu dan anak.

Mengalihkan sumber daya publik yang terbatas untuk mantan pejabat menciptakan jurang ketimpangan antara masyarakat dan elit yang justru seharusnya bertanggung jawab atas pelayanan publik yang lebih adil.

2. Beban Berlebihan pada APBN

Ia juga menyoroti, saat kondisi ekonomi yang rentan, di mana anggaran negara sudah terbebani oleh berbagai program sosial dan infrastruktur, menambahkan beban baru seperti jaminan kesehatan bagi mantan menteri sangat tidak bijaksana.

"APBN sudah menghadapi tantangan besar dalam mendanai berbagai program publik, termasuk subsidi energi, bantuan sosial, pendidikan, dan kesehatan untuk masyarakat luas," ungkapnua.

Meningkatkan belanja negara melalui program-program seperti ini hanya akan memperburuk defisit anggaran dan memperbesar beban utang publik. Dalam jangka panjang, pembengkakan utang yang berkelanjutan akibat pengeluaran yang tidak esensial ini dapat menempatkan ekonomi Indonesia dalam risiko lebih besar, dengan implikasi bahwa generasi mendatang yang akan menanggung beban utang tersebut.

3. Pengabaian Prinsip Keadilan Sosial

Dalam konteks kebijakan publik, keadilan sosial adalah prinsip fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi. Kebijakan yang memberikan jaminan kesehatan gratis kepada mantan menteri dan keluarganya melanggar prinsip ini karena memberikan keuntungan yang tidak adil kepada kelompok yang sudah sangat diuntungkan selama masa jabatan mereka. Mantan menteri, dengan penghasilan dan tunjangan tinggi selama mereka bertugas, sangat mungkin memiliki kemampuan finansial untuk membiayai sendiri kebutuhan kesehatan mereka tanpa harus bergantung pada APBN.

Sebaliknya, jutaan masyarakat miskin di Indonesia harus berjuang mengakses layanan kesehatan yang memadai. Ketimpangan ini semakin nyata jika kita melihat bahwa banyak warga Indonesia yang belum tercover oleh BPJS atau layanan kesehatan serupa.

"Ketika masyarakat umum harus membayar biaya perawatan atau bahkan menunggak pembayaran BPJS, para mantan pejabat menerima layanan kesehatan gratis yang dibiayai oleh negara. Ini menciptakan kesan bahwa kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir elit, sementara mayoritas warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar," jelasnya.

4. Potensi Penyalahgunaan dan Transparansi

Kebijakan ini juga rawan terhadap potensi penyalahgunaan. Sistem jaminan kesehatan yang didanai oleh APBN untuk mantan menteri harus diatur dengan ketat agar tidak terjadi ekses penggunaan. Namun, berdasarkan sejarah kebijakan serupa, seringkali pengawasan atas penggunaan dana publik tidak berjalan dengan efektif.

Tanpa mekanisme pengawasan yang jelas, ada risiko bahwa mantan pejabat atau keluarga mereka dapat menyalahgunakan fasilitas kesehatan ini di luar kebutuhan medis yang wajar, yang tentunya akan meningkatkan beban APBN.

Transparansi menjadi kunci dalam mengelola dana publik, namun implementasi kebijakan ini berpotensi menambah lapisan kompleksitas dalam pengawasan anggaran kesehatan. Masyarakat harus memiliki akses terhadap informasi mengenai bagaimana dana tersebut digunakan, siapa yang mendapatkan manfaatnya, dan bagaimana kebijakan ini dievaluasi secara berkala.

Tanpa transparansi dan akuntabilitas yang memadai, kebijakan ini bisa menjadi beban yang terus menggerogoti keuangan negara tanpa memberikan manfaat yang signifikan.

5. Prioritas Anggaran yang Salah

Penerapan kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki prioritas anggaran yang salah arah. Di saat banyak program publik yang lebih penting membutuhkan pendanaan, seperti perbaikan infrastruktur kesehatan, pendidikan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin, pemerintah justru memilih untuk menghabiskan anggaran pada kelompok kecil elit politik. Padahal, mantan menteri yang berada pada posisi finansial yang kuat seharusnya mampu mengelola kebutuhan kesehatan mereka secara pribadi.

Kebijakan ini menunjukkan kurangnya fokus pada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat secara lebih luas. Pengalokasian anggaran negara harus didasarkan pada kebutuhan yang paling mendesak dan prioritas yang jelas. Dalam hal ini, jaminan kesehatan untuk mantan pejabat tinggi jelas bukanlah prioritas yang seharusnya mendapat perhatian di tengah kondisi sosial-ekonomi yang menantang.

6. Dampak Terhadap Kepercayaan Publik

Kebijakan ini juga berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Di saat masyarakat luas dihadapkan pada tantangan ekonomi dan sulitnya mendapatkan akses layanan kesehatan yang layak, melihat mantan pejabat yang mendapatkan jaminan kesehatan gratis dari negara bisa memicu ketidakpuasan dan ketidakpercayaan. Rasa ketidakadilan ini dapat memicu frustrasi publik dan memperburuk hubungan antara rakyat dan pemerintah.

Baca Juga: Jokowi Terbitkan Perpres, Pensiunan Menteri Mendapat Jaminan Kesehatan

Kepercayaan publik adalah elemen kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan politik. Ketika kebijakan publik mencerminkan kesenjangan yang nyata antara elit dan masyarakat umum, pemerintah berisiko kehilangan legitimasi di mata rakyatnya.

"Untuk membangun kepercayaan yang lebih baik, pemerintah harus mengadopsi kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan, yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas, bukan hanya segelintir elit," tegasnya.

Topik Menarik