Paradoks Fleksibilitas dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Paradoks Fleksibilitas dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia

Nasional | sindonews | Selasa, 14 Januari 2025 - 09:53
share

Ciplis Gema Qori'ah Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember

SALAH satu poin kebijakan Bank Indonesia yang selalu ditunggu setiap bulannya adalah apakah suku bunga acuan BI dinaikkan, tetap, atau turun. Kebijakan moneter ini sangat berarti bagi agen-agen ekonomi dan bisnis. Terlebih secara makro, pilihan untuk menstabilkan perekonomian domestik di tengah fluktuasi ekonomi global salah satunya adalah ketepatan memainkan kebijakan moneter.

Satu konsep penting dalam kebijakan moneter adalah tentang inersia, yaitu sebuah pendekatan kebijakan tatkala perilaku bank sentral dalam menaikkan atau menurunkan suku bunga secara perlahan dan bertahap, bukan dengan perubahan besar sekaligus. Pendekatan ini bertujuan memberikan sinyal ke pasar, menjaga stabilitas dan mengurangi volatilitas yang bisa muncul dari perubahan kebijakan yang mendadak. Namun, pendalaman wacana terkait konsep ini memunculkan dilema yang dikenal sebagai paradoks fleksibilitas.

Dalam literasi ekonomi, paradoks fleksibilitas ialah suatu fenomena ketika fleksibilitas harga yang lebih tinggi, justru meningkatkan volatilitas output. Dimana seharusnya menjadi mekanisme penyeimbang pasar. Akibatnya, dampak guncangan ekonomi menjadi lebih dalam. Dalam konteks ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana pendekatan inersia kebijakan moneter bisa membantu mengatasi paradoks fleksibilitas dan apa implikasinya bagi Bank Indonesia (BI), khususnya dalam menghadapi tantangan ekonomi domestik dan global.

Paradoks fleksibilitas terjadi terutama dalam situasi jebakan likuiditas (liquidity trap), ketika suku bunga nominal mendekati nol dan alat kebijakan moneter konvensional menjadi kurang efektif. Dalam kondisi ini, peningkatan fleksibilitas harga, yang memungkinkan harga beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan permintaan atau penawaran, dapat memperburuk deflasi. Ketika permintaan melemah, harga turun dengan cepat, yang menyebabkan ekspektasi inflasi juga menurun.

Penurunan ekspektasi inflasi ini, dalam situasi di mana suku bunga nominal tidak bisa diturunkan lebih lanjut, akan menyebabkan peningkatan suku bunga riil. Hal ini berdampak negatif pada investasi dan konsumsi, serta memperburuk penurunan output. Dengan kata lain, fleksibilitas harga yang lebih tinggi justru memperbesar efek kontraksi ekonomi, alih-alih menjadi mekanisme stabilisasi.

Sejurus dengan studi Bonciani dan Oh (2020) yang menunjukkan bahwa paradoks fleksibilitas ini sebagian besar disebabkan oleh kegagalan model standar untuk menangkap karakteristik kebijakan moneter yang lebih realistis. Ketika kebijakan moneter memiliki elemen inersia, seperti melalui penyesuaian bertahap pada suku bunga bayangan (shadow rate), efek negatif dari paradoks fleksibilitas bisa diminimalkan.

Inersia kebijakan moneter mengacu pada penyesuaian bertahap terhadap suku bunga kebijakan. Ini berarti bahwa bank sentral tidak hanya bereaksi terhadap kondisi ekonomi saat ini, tetapi juga mempertimbangkan tren dan ekspektasi jangka panjang. Salah satu manfaat utama dari pendekatan ini adalah kemampuannya untuk memandu ekspektasi pasar. Ketika bank sentral menurunkan suku bunga bayangan secara signifikan, pasar cenderung memahami bahwa suku bunga akan tetap rendah untuk waktu yang cukup lama. Komitmen ini memengaruhi ekspektasi inflasi, yang berdampak pada penurunan suku bunga riil, meskipun suku bunga nominal sudah berada pada batas bawah nol. Dengan demikian, pendekatan inersia bisa mencegah terjadinya spiral deflasi dan memperbaiki output ekonomi.

Meski demikian, ada perbedaan mendasar antara penyesuaian suku bunga bayangan (shadow interest rate) dan suku bunga aktual. Penyesuaian bertahap terhadap suku bunga aktual saja sering kali tidak cukup untuk menangani jebakan likuiditas karena tidak memberikan sinyal yang kuat kepada pasar tentang komitmen kebijakan moneter di masa depan. Oleh karena itu, elemen forward guidance, atau panduan kebijakan di masa depan, menjadi kunci untuk meningkatkan efektivitas kebijakan inersia. BI sebagai bank sentral Republik Indonesia, telah menerapkan elemen-elemen inersia dalam kebijakan moneternya. Penyesuaian suku bunga acuan, misalnya, dilakukan secara bertahap dalam kisaran 25 basis poin. Pendekatan ini mencerminkan keinginan untuk menjaga stabilitas pasar dan mengurangi risiko volatilitas yang bisa timbul dari perubahan ataupun guncangan (shocks).

Namun, pertanyaannya adalah apakah pendekatan ini cukup untuk menghadapi tantangan yang kompleks seperti paradoks fleksibilitas? Sebagai negara berkembang, Indonesia sering kali menghadapi tekanan eksternal, seperti volatilitas harga komoditas, perubahan kebijakan moneter di negara maju, dan fluktuasi nilai tukar. Dalam situasi seperti ini, efektivitas kebijakan inersial bisa diuji, terutama ketika pasar domestik menunjukkan tingkat fleksibilitas harga yang tinggi. Bahkan sektor tertentu di Indonesia, seperti bahan makanan dan energi, memiliki tingkat fleksibilitas harga yang lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya. Akibatnya, guncangan permintaan negatif bisa memicu penurunan harga yang tajam, yang selanjutnya memperburuk ekspektasi inflasi. Dalam situasi ini, kebijakan moneter inersia mungkin tidak cukup untuk membalikkan tren negatif tanpa dukungan kebijakan fiskal yang kuat.

Meskipun pendekatan inersia memiliki manfaat yang signifikan, ada juga kritik terhadap strategi ini. Salah satu kritik utama adalah potensi kurangnya responsivitas terhadap perubahan kondisi ekonomi yang cepat. Dalam konteks Indonesia, di mana ekonomi sering kali menghadapi guncangan mendadak dari faktor eksternal, kebijakan yang terlalu lambat bisa berakibat fatal yang akan memperburuk dampak negatif.

Selain itu, efektivitas kebijakan inersia bergantung pada seberapa baik kebijakan tersebut ditransmisikan ke sektor riil. Di Indonesia, keterbatasan inklusivitas keuangan bisa menjadi hambatan. Jika penurunan suku bunga acuan tidak diikuti bersamaan (lag) oleh penurunan biaya kredit bagi usaha kecil dan mikro, dampak kebijakan terhadap aktivitas ekonomi menjadi terbatas. Inklusi keuangan ini sangat penting seiring dengan temuan empiris yang dilakukan (Oanh, 2024) menunjukkan bahwa inklusi keuangan merupakan kondisi kecukupan atas tersedianya akses rumah tangga terhadap serangkaian layanan keuangan, termasuk pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi, serta pendidikan keuangan yang memadai untuk membuat keputusan yang benar dan bijaksana. Termasuk indikator penunjangnya seperti seberapa maju pasar dan lembaga keuangan pada volume dan likuiditasnya, kemampuan individu (pendidikan, literasi, informasi), kemampuan perusahaan untuk mengakses layanan keuangan serta efisiensi yang mengindikasikan kemampuan lembaga untuk menyediakan layanan keuangan yang benefitable bagi banyak pihak.

Paradoks fleksibilitas memberikan pelajaran penting bagi BI tentang perlunya pendekatan kebijakan yang lebih adaptif dan strategis. Selain menjaga elemen inersia dalam kebijakan moneter, Bank Indonesia bisa mempertimbangkan berbagai langkah seperti (1) Penguatan forward guidance dengan memberikan panduan yang lebih eksplisit tentang arah kebijakan di masa depan dapat membantu mengelola ekspektasi pasar dengan lebih baik. Ini juga dapat memperkuat kepercayaan pasar terhadap komitmen bank sentral untuk menjaga stabilitas ekonomi. (2) Pentingnya integrasi kebijakan moneter dan fiskal melalui koordinasi yang lebih erat. Kebijakan fiskal yang mendukung, seperti subsidi atau stimulus langsung bisa membantu mengurangi dampak guncangan ekonomi. (3) Peningkatan inklusi keuangan untuk memastikan transmisi kebijakan moneter yang lebih efektif, khususnya di sektor informal dan wilayah pedesaan ataupun tertinggal. Terlebih dengan akses yang lebih baik ke layanan keuangan (literasi dan infrastruktur), pelaku ekonomi bisa merasakan manfaat langsung dari perubahan kebijakan moneter. Inklusivitas keuangan intra dan antar wilayah akan menjadi motor penggerak dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.

Pada dasarnya, paradoks fleksibilitas menyoroti kompleksitas kebijakan moneter dalam kondisi jebakan likuiditas. Pendekatan inersia memberikan solusi yang efektif untuk mengatasi tantangan ini. Tetapi keberhasilannya sangat bergantung pada kemampuan bank sentral untuk memandu ekspektasi pasar dan menyesuaikan kebijakan dengan dinamika ekonomi yang tengah terjadi. Bagi Bank Indonesia, integrasi elemen inersia dengan strategi komunikasi yang kuat serta koordinasi kebijakan yang komprehensif dengan lembaga terkait, menjadi kunci menjaga stabilitas ekonomi sekaligus mendorong pertumbuhan inklusif. Dengan pendekatan yang adaptif, BI bisa mengatasi tantangan global sekaligus membangun fondasi yang lebih kuat bagi perekonomian nasional.

Topik Menarik