Mertua Gugat Menantu dan Cucu, Ahli Hukum UNAIR Angkat Bicara
SURABAYA, iNewsSurabaya.id - Ahli Hukum Perdata Universitas Airlangga Dr. Ghansham Anand, angkat bicara terkait Anggraeni Jung Jung dan ketiga anaknya yang tengah mempertahankan hal dari gugatan mertuanya, pasangan Irako Khosuma dan Heryanto Wuisan.
Irako dan suami sebelumnya menggugat Anggraeni, warga Menur Pumpungan Sukolilo Surabaya dan ketiga cucu mereka karena ingin mengambil lagi aset yang sebenarnya telah dihibahkan kepada anaknya, mendiang Wuisan yang tak lain suami Anggraeni.
Menurut Ghansham, pertama-tama apabila aset yang dipersengketakan berupa hak atas tanah, maka penggugat, yakni Irako dan suaminya harus menunjukkan bukti kepemilikan hak atas tanah tersebut.
"Hal tersebut yang terutama, karena seseorang yang mendalilkan dirinya berhak terhadap suatu hak atas tanah harus mengawali dengan menyebutkan bukti kepemilikan hak atas tanah dan kemudian dapat membuktikan dirinya yang memiliki hak atas tanah tersebut, sebagaimana prinsip dasar dalam hukum perdata, dalam Pasal 1865 KUHPerdata," ujar Ghansham saat memberikan keterangan sebagai ahli dalam sidang di Pengadilan Negeri Tobelo.
Irako dan suami menggugat Anggraeni dan ketiga cucu karena ingin mengambil lagi aset-aset berupa Toko Kodak Rejeki Studio dan Toko Rejeki Bangunan di Kecamatan Tobelo, Halmahera Utara, Maluku Utara serta dua aset lain di kecamatan yang sama. Jika para penggugat tidak dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan aset-aset tersebut dalam persidangan, maka menurut Ghansham, hukumnya sudah jelas, gugatan itu seharusnya ditolak.
“Tolak atau sepatutnya tidak dapat diterima gugatan yang demikian. Hal ini bisa dibaca lebih lanjut di dalam penelitian saya yang sudah diterbitkan di Jurnal Ilmiah," ucap Ghansham.
Tentang hal ini, pengacara Anggraeni, Xavier Nugraha mengomentari bahwa selama proses pembuktian Penggugat tidak berhasil menunjukan bukti kepemilikan atas objek yang diklaim miliknya.
"Tidak pernah ditunjukan sertipikat maupun alas hak lain yang dibenarkan untuk mengklaim sebuah tanah," imbuhnya.
Pencak Silat Nomor 1 di Indonesia Apa?
Selain itu, Ghansham menambahkan, aset yang dihibahkan berarti sudah beralih kepemilikannya dari pemberi hibah kepada penerima hibah. Dasar hukumnya, Pasal 1666 KUHPerdata dan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Terlebih ketika akta hibah itu dibuat oleh pejabat berwenang seperti PPAT, maka sudah termasuk akta autentik yang pembuktiannya sempurna, sebagaimana Pasal 1870 KUHperdata. Jika penerima hibah meninggal, maka aset yang dihibahkan tersebut mutlak menjadi hak para ahli waris, diatur dalam Pasal 832 dan 833 KUHPerdata.
"Hak atas tanah yang diperoleh melalui hibah di dalam akta otentik juga merupakan salah satu objek waris dan merupakan hak milik dari para ahli waris," kata Ghansham.
Sementara itu, Ketua Tim Pengacara Anggraeni, Daniel Julian Tangkau berharap majelis hakim memutus perkara ini dengan berlandaskan pada hukum.
"Kami percaya tentunya Majelis tentunya berpedoman terhadap hukum dan bukan opini semata. Hal yang sudah mutlak dan jelas hukumnya tidak mungkin ditafsirkan berbeda, nanti bisa menjadi kontroversi," ujar Daniel.
Mendiang Herman, suami Anggraeni sebelumnya menerima hibah aset-aset tersebut dari orangtuanya sejak 2009 dan 2018 lalu.
"Hibah itu diberikan ibunya, Irako dan juga atas sepengetahuan ayahnya, Heryawan. Setelah menerima hibah hubungan Herman sekeluarga dengan kedua orangtuanya harmonis. Irako dan suaminya disebut sangat menyayangi keluarga Herman, termasuk ketiga anak-anaknya. Namun, sikap Irako dan Heryanto kepada menantu dan tiga cucunya berubah drastis setelah Herman meninggal pada 2019 lalu. Keduanya hendak mengambil kembali aset yang dulu sudah dihibahkan," tandasnya.