Hakim Agung Cerah Bangun Dissenting Opinion atas Putusan Batas Usia Calon Kepala Daerah

Hakim Agung Cerah Bangun Dissenting Opinion atas Putusan Batas Usia Calon Kepala Daerah

Terkini | inews | Senin, 3 Juni 2024 - 20:43
share

JAKARTA, iNews.id - Hakim Mahkamah Agung (MA) Cerah Bangun dissenting opinion atas putusan permohonan batas usia calon kepala daerah tidak harus 30 tahun saat daftar pilkada. Permohonan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana harus ditolak.

Dilansir dari laman Kepaniteraan MA, Senin (3/6/2024), terdapat perbedaan oleh Hakim Agung Cerah Bangun dengan objek uji materiel dalam perkara yakni Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 tentang Perubahan Keempat atas PKPU 3/2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Sidang permohonan ini dipimpin ketua majelis hakim yakni Yulius dengan anggota hakim Cerah Bangun dan Yodi Martono Wahyunadi.

Cerah Bangun menilai bahwa MA berwenang menguji apakah objek hak uji materiel bertentangan dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-undang.

Dalam putusan itu menyebutkan, Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 tersebut tidak mengatur secara rinci dan/atau detail mengenai batas penghitungan usia untuk calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, sehingga untuk menjalankan UU 10/2016 tersebut, berdasarkan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, KPU mengatur dengan PKPU 9/2020.

Khususnya Pasal 4 ayat (1) huruf d yang menyatakan: "berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil wali kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon."

Menurut Cerah Bangun, frasa terhitung sejak penetapan pasangan calon merupakan unsur-unsur ketentuan dalam Peraturan KPU a quo yang membedakan secara substantif antara objek hak uji materiel dan UU 10/2016. Sehingga substansi objek hak uji materiel yang diuji adalah apakah frasa terhitung sejak penetapan pasangan calon bertentangan dengan UU 10/2016.

Sementara yang menjadi pertimbangan hakim dalam melakukan uji materi yakni apa pokok pikiran dan bagaimana penalaran hukum secara filosofis, sosiologis, dan yuridis bagi KPU dalam penambahan frasa a quo. Apakah frasa a quo sejalan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan meliputi kejelasan tujuan, kelembagaan, kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan dapat dilaksanakan, efektivitas dan efisiensi, kejelasan rumusan, dan keterbukaan.

"Menimbang, bahwa menurut hakim anggota I, frasa terhitung sejak penetapan pasangan calon pada peraturan a quo justru diperlukan untuk melaksanakan dan/atau menyelenggarakan UU 10/2016 sehingga semakin jelas pokok pikiran, tujuan, dan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien UU 10/2016 a quo," ucap dia.

"Frasa tersebut tidak bertentangan dengan prinsip 'perlakuan yang sama di hadapan hukum', prinsip 'kesempatan yang sama dalam pemerintahan', dan prinsip 'jaminan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif'," sambungnya.

Selain itu, hakim agung Cerah Bangun juga berpendapat pemenuhan hak atas persamaan perlakuan di hadapan hukum dan pemerintahan, dalam hubungannya dengan pengisian jabatan tertentu, bukan berarti meniadakan persyaratan dan/atau pembatasan-pembatasan yang secara rasional memang dibutuhkan oleh jabatan itu.

Menurutnya, limitasi waktu perlu dan harus dirumuskan dalam norma dan kalimat yang disusun secara singkat, jelas, dan lugas. Aturan tersebut sejalan dengan ontologi, epistemologi, dan aksiologi hukum untuk mencapai tujuan hukum yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

"Menimbang, bahwa dengan demikian hakim anggota I berpendapat dalil-dalil pemohon tidak beralasan dan permohonan pemohon patut ditolak," katanya.

Atas perbedaan pendapat tersebut, maka majelis hakim memutus dengan suara terbanyak. Hal ini melalui musyawarah hakim.

"Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, maka ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016," katanya.

Topik Menarik