LBH Papua: Pembentukan 5 Batalyon Penyangga Daerah Rawan di Papua Langgar Tugas Pokok TNI

LBH Papua: Pembentukan 5 Batalyon Penyangga Daerah Rawan di Papua Langgar Tugas Pokok TNI

Terkini | sorongraya.inews.id | Sabtu, 5 Oktober 2024 - 06:10
share

 

 

JAYAPURA, iNewsSorong.id — Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua melalui siaran pers dengan nomor: 012 / SP-LBH-Papua / X / 2024, yang ditandatangani oleh Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, mengeluarkan kritik tajam terhadap keputusan Panglima TNI, Jenderal TNI Agus Subiyanto, yang meresmikan lima Batalyon Infanteri (Yonif) Penyangga Daerah Rawan di lima wilayah Papua. Langkah ini dinilai bertentangan dengan tugas pokok TNI dan diduga melibatkan TNI dalam kegiatan bisnis terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke.

Dalam pernyataannya, LBH Papua menegaskan bahwa tugas pokok TNI telah diatur secara jelas dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tugas tersebut adalah menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, bukan untuk terlibat dalam program-program yang berpotensi masuk dalam ranah bisnis, seperti yang dituduhkan terkait proyek ketahanan pangan di Papua. 

Gobay menekankan bahwa pelibatan TNI dalam proyek ini melanggar Pasal 39 angka 4 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004, yang secara tegas melarang prajurit TNI terlibat dalam kegiatan bisnis.

Pelanggaran Hak Masyarakat Adat Papua

LBH Papua juga menyoroti bahwa proyek ketahanan pangan yang menjadi dasar pembentukan lima batalyon tersebut tidak menghormati hak-hak masyarakat adat Papua, khususnya masyarakat adat Marind di Merauke. 

Proyek yang dijalankan oleh sepuluh perusahaan besar di wilayah tersebut dinilai melanggar Pasal 42 dan Pasal 43 UU Otonomi Khusus Papua, yang mengatur bahwa setiap penanaman modal dan penyediaan tanah ulayat harus melibatkan masyarakat adat setempat.

"Proyek Strategis Nasional di Merauke telah berlangsung tanpa melalui mekanisme penanaman modal yang menghormati hak-hak masyarakat adat. Ini jelas melanggar ketentuan dalam UU Otsus Papua dan Undang-Undang Dasar 1945, serta hak asasi manusia masyarakat adat Papua," ujar Gobay.

Lebih lanjut, ia menyebutkan bahwa meskipun masyarakat adat Marind telah secara terbuka menolak proyek ini, baik Presiden RI maupun Menteri Pertanian RI belum merespon tuntutan tersebut.

TNI Diduga Terlibat Bisnis Proyek Strategis

Selain menyoroti pelanggaran hak masyarakat adat, LBH Papua menuding bahwa pembentukan batalyon tersebut adalah bentuk keterlibatan TNI dalam bisnis proyek strategis. TNI dituding diarahkan untuk membantu perusahaan-perusahaan besar yang menjalankan proyek di Merauke, yang meliputi perusahaan-perusahaan dengan lahan luas hingga puluhan ribu hektar.

Gobay menegaskan bahwa keterlibatan TNI dalam proyek tersebut bertentangan dengan prinsip tentara profesional yang diatur dalam Pasal 2 huruf d UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, di mana prajurit TNI dilarang terlibat dalam bisnis dan harus fokus pada tugas pertahanan negara.

Tuntutan LBH Papua

Atas dasar berbagai pelanggaran tersebut, LBH Papua menuntut:

Presiden RI segera membatalkan pembentukan batalyon infanteri penyangga daerah rawan di lima wilayah Papua, karena bertentangan dengan tugas pokok TNI dan melanggar hak masyarakat adat Papua.

Panglima TNI ditegaskan kembali pada jati diri tentara profesional, yang tidak berbisnis dan fokus pada tugas negara.

Menteri Pertanian diminta menghentikan Proyek Strategis Nasional di Merauke yang melanggar hak-hak masyarakat adat Marind.

LBH Papua berjanji akan terus mengawal permasalahan ini dan mendesak pemerintah pusat untuk mendengarkan aspirasi masyarakat adat Papua, yang selama ini terpinggirkan dalam pelaksanaan proyek-proyek strategis nasional.

 

 

 

 

Topik Menarik