Konvoi Ambulans Ditembaki, Sentimen Anti-China Meningkat di Myanmar
Pada 2 April lalu, militer Myanmar melepaskan tembakan ke konvoi kendaraan Palang Merah China yang menuju Mandalay, salah satu daerah paling parah dilanda gempa bumi berkekuatan magnitudo 7,7 baru-baru ini, untuk mengirimkan pasokan bantuan.
Kelompok pemberontak bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Ta'ang (TNLA) menuduh bahwa junta militer menggunakan senapan mesin berat untuk menembaki konvoi China saat melewati Kotapraja Nawnghkio di Negara Bagian Shan utara.
Namun, militer mengeklaim konvoi tersebut gagal memberi tahu mereka tentang rutenya dan tidak berhenti saat diperintahkan, yang menyebabkan dilepaskannya tembakan peringatan. Meski beberapa sumber menyatakan bahwa ini mungkin merupakan insiden yang tidak diinginkan, penyebab pastinya masih belum jelas.
Mengutip dari Irrawady, Sabtu (26/4/2025), satu hal yang tidak dapat disangkal adalah bahwa kepentingan China terus menghadapi serangan di Myanmar. Keterlibatan aktif China dalam konflik internal Myanmar—termasuk dukungannya terhadap militer dan kelompok perlawanan bersenjata—semakin meningkatkan ketegangan.
Beberapa hari sebelumnya pada 21 Maret 2025, protes diam-diam terjadi di Lashio, ibu kota Negara Bagian Shan utara. Penduduk yang mengungsi akibat konflik antara junta militer dan Tentara Aliansi Demokratik Nasional Myanmar (MNDAA) menyatakan penentangan mereka terhadap keterlibatan China dalam menengahi pembicaraan damai antara kedua pihak.
Para pengunjuk rasa membagikan poster yang mendesak China untuk menghormati kedaulatan Myanmar dan menghentikan dukungannya terhadap rezim militer.
Kekecewaan Publik
Aksi protes ini merupakan bagian dari tren yang lebih luas dari meningkatnya sentimen anti-China di Myanmar. Selama beberapa tahun terakhir, kekecewaan publik telah meningkat karena dukungan China yang dirasakan terhadap junta militer, eksploitasi ekonominya melalui proyek-proyek kontroversial, dan campur tangannya dalam urusan dalam negeri Myanmar.Pada 18 Oktober 2024, konsulat China di Mandalay menjadi sasaran ledakan. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengonfirmasi serangan itu tiga hari kemudian, mengungkapkan "kejutan mendalam" Beijing dan mengeluarkan kecaman keras atas insiden tersebut.
Meski merupakan pemasok senjata bagi junta Myanmar, China tetap menjalin hubungan dengan kelompok etnis yang menentang militer, sehingga menciptakan dinamika kompleks di kawasan tersebut. Hubungan China di Myanmar menjadi latar belakang konteks yang lebih luas seputar serangan tersebut.
Analis independen David Scott Mathieson merasa bahwa, "Siapa pun yang berada di balik pengeboman konsulat, hal itu menunjukkan bahwa ada banyak aliran kemarahan anti-China atas dukungan terhadap rezim tersebut dan terhadap dukungan China yang dianggap mendukung pendudukan Kokang di Lashio."
Berbicara kepada VoA, Mathieson mengatakan bahwa “China harus menanggapi kemarahan publik yang meningkat dengan sangat serius, karena berpotensi berubah menjadi kekerasan di daerah perkotaan dan terhadap warga negara China serta aset ekonomi, tetapi juga komunitas Myanmar-China.”
Sebelum itu, pada Mei 2023, protes pecah di Letpadaung, Wilayah Sagaing, tempat para demonstran membakar bendera China dan foto-foto Menteri Luar Negeri China saat itu, Qin Gang. Protes serupa terjadi di Yangon, Mandalay, dan wilayah lain, dengan spanduk yang menuntut agar China menghormati suara rakyat Myanmar.
Demonstrasi seperti yang baru-baru ini terjadi di Lashio mencerminkan keluhan mendalam rakyat Myanmar, yang merasa bahwa tindakan China mengutamakan kepentingan strategisnya daripada kesejahteraan penduduk setempat.
Ujaran Kebencian di Media Sosial
Sebuah studi yang dilakukan sel penelitian platform media sosial China Toutiao, bekerja sama dengan perusahaan analisis Insecurity Insight, meneliti ujaran kebencian yang menargetkan China dan orang-orang China di platform media sosial Myanmar dari Juli 2024 hingga Februari 2025.Temuan tersebut mengungkap sentimen anti-China yang mengakar, tercermin dalam bahasa yang tidak manusiawi, kambing hitam, dan seruan untuk melakukan kekerasan dalam wacana media sosial Myanmar.
Warganet mengaitkan China dengan masalah ekonomi, termasuk ketergantungan pada produk China, ketidakseimbangan perdagangan, dan dominasi infrastruktur. Bahasa yang tidak manusiawi, seperti komentar seperti "Pemikiran China pada dasarnya lebih rendah" dan "Biarkan mereka tenggelam, anjing-anjing itu," memperburuk permusuhan.
China juga disalahkan atas masalah sosial, dengan pernyataan seperti “Jangan impor apa pun dari mereka; semua produk mereka palsu dan penuh virus korona.”
Selain itu, beberapa pernyataan semakin meningkatkan kebencian ini, dengan seruan yang mengkhawatirkan untuk melakukan kekerasan dan pengusiran, seperti “usir warga negara China; lakukan genosida jika perlu,” yang menormalkan retorika berbahaya.
Tema berulang lainnya adalah superioritas moral, di mana klaim seperti “China sangat buruk untuk diajak bertetangga—moral mereka sangat rendah” membingkai individu China sebagai orang yang pada dasarnya tidak bermoral, memperdalam kesenjangan sosial dan melestarikan stereotip negatif.
Studi ini menyoroti bahwa unggahan yang mengkritik blokade perbatasan China—seperti yang terjadi di Muse dan pos pemeriksaan lain di Negara Bagian Shan utara pada Oktober 2024—mendapat perhatian signifikan. Blokade ini membatasi barang-barang seperti elektronik dan perlengkapan medis, yang memicu kemarahan publik dan memperkuat kritik terhadap pengaruh China.
Menurut survei pertengahan tahun 2024 yang dilakukan oleh Institut Strategi dan Kebijakan Myanmar (ISP-Myanmar), 54 persen pemangku kepentingan utama di Myanmar menyatakan persepsi negatif terhadap China sebagai tetangga.
Sentimen ini bahkan lebih kuat di kalangan organisasi masyarakat sipil, dengan 72 persen menggambarkan China sebagai "tidak baik sama sekali" atau "bukan tetangga yang baik."
Demikian pula, 60 persen organisasi etnis bersenjata dan 54 persen Pasukan Pertahanan Rakyat—yang terdiri dari sayap bersenjata Pemerintah Persatuan Nasional dan pasukan pertahanan lokal yang dibentuk setelah kudeta—memiliki pandangan yang tidak menguntungkan ini.
Selain protes terhadap pengaruh Beijing yang semakin besar, ujaran kebencian yang ditujukan kepada China dan warga China di lingkungan media sosial Myanmar telah menjadi cerminan signifikan dari meningkatnya ketegangan geopolitik di negara tersebut.
Permusuhan daring ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan yang lebih luas, tetapi juga memperkuatnya, menciptakan ruang digital yang tidak stabil yang memengaruhi sikap dan tindakan di dunia nyata. Lingkungan yang tidak bersahabat meningkatkan risiko bagi bisnis China, lembaga bantuan, dan misi diplomatik, karena mereka menjadi sasaran potensial kemarahan publik.
Proyek Infrastruktur Terancam
Koridor Ekonomi China Myanmar (CMEC), proyek unggulan di bawah Prakarsa Sabuk dan Jalan China, bertujuan untuk meningkatkan konektivitas ekonomi antara kedua negara. Namun, ketidakstabilan yang berkembang mengancam implementasinya, karena infrastruktur dan rute perdagangan menghadapi gangguan.Serangan terhadap proyek dan infrastruktur yang didukung China telah dilaporkan, yang mencerminkan posisi genting entitas China di wilayah tersebut.
Salah satu contoh penting terjadi pada Mei 2023, ketika Pasukan Gerilya Natogyi (NGF) menyerang stasiun pengambilan minyak dan gas yang didanai China di wilayah Mandalay. Pipa sepanjang 973 km itu membentang dari pantai Rakhine, melalui wilayah Magwe dan Mandalay serta negara bagian Shan, hingga provinsi Yunnan di China. Serangan itu terjadi tak lama setelah kunjungan menteri luar negeri China ke Myanmar.
Setelah kunjungan itu, protes anti-China pecah di seluruh negeri, dengan demonstran dilaporkan membakar bendera China di beberapa daerah, seperti yang dicatat oleh salah satu pengamat yang disebutkan sebelumnya. Menanggapi serangan pipa tersebut, langkah-langkah keamanan telah diperketat secara signifikan.
Baru-baru ini, pada November 2024, Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA) merebut Kanpaiti, kota perdagangan penting di perbatasan timur laut Myanmar dengan China dan pusat penting penambangan tanah jarang. Kemunduran ini hanya menyisakan satu kota penyeberangan perbatasan, Muse, dan memutus akses ke pendapatan berharga dari tambang tanah jarang yang memasok China dengan bahan-bahan penting untuk industri seperti motor listrik, turbin angin, persenjataan canggih, dan elektronik.
Kawasan ini merupakan rumah bagi lebih dari 300 tambang yang tidak diatur, yang menghasilkan tanah jarang senilai sekitar USD1,4 miliar bagi China pada tahun 2024, yang sering kali menimbulkan kerugian lingkungan dan sosial yang besar, menurut sebuah laporan oleh kelompok lingkungan Global Witness yang berkantor pusat di London.
Sebagai tanggapan atas kemajuan KIA, China dilaporkan menutup sebagian besar penyeberangan perbatasan, yang meningkatkan ketegangan di kawasan tersebut.
Sebagai cerminan dari semakin tidak populernya China di antara berbagai kelompok, baik di Myanmar maupun di antara diasporanya, September lalu, lebih dari 50 warga Amerika keturunan Burma melakukan protes di luar Kedutaan Besar China di Washington, mengecam dugaan campur tangan Beijing dalam urusan internal Myanmar.
Sejak kudeta, proyek-proyek CMEC seperti pelabuhan laut dalam di Kyaukphyu, kawasan industri, dan jalur kereta api berkecepatan tinggi yang menghubungkan Kunming di China dengan Mandalay telah terhenti.
Meningkatnya permusuhan terhadap China di Myanmar bukan hanya merupakan cerminan ketegangan geopolitik, tetapi juga katalisator bagi ketidakstabilan lebih lanjut, dengan implikasi signifikan bagi dinamika regional dan keamanan kepentingan China.
Sentimen anti-China yang berkembang mempersulit upaya Beijing untuk mempertahankan pijakan strategisnya di Myanmar, karena harus menghadapi perlawanan lokal dan pengawasan internasional.







