Dampak Perang Dagang: Canton Fair Sepi, Industri Ekspor China Terguncang
Canton Fair, yang dulunya merupakan pusat perdagangan global yang ramai, resmi dibuka pada 15 April, menghadirkan lebih dari 30.000 peserta pameran di area seluas 200 lapangan sepak bola. Namun, keramaian pembeli internasional yang biasa terlihat kini terasa sepi.
Mengutup dari European Times, Senin (28/4/2025), para klien dari Eropa dan Amerika—yang selama ini menjadi pemain kunci—menarik diri, meninggalkan stan-stan pameran yang lebih sunyi dari sebelumnya. Alasannya jelas: tarif yang melonjak dan ketegangan perdagangan yang memanas.
Dengan tarif Amerika Serikat yang melambung hingga 245, produsen China kini berjuang keras untuk mempertahankan bisnis mereka. Pesanan dari pembeli Barat menurun drastis, memaksa para eksportir mencari jalan bertahan—mulai dari perdagangan transhipment, membidik pasar alternatif, hingga sekadar menunggu perubahan kebijakan.
Sementara pabrik-pabrik tutup dan pembayaran macet, pertanyaan besar mulai menghantui: Apakah dominasi ekspor China mulai runtuh? Canton Fair yang dulu penuh semangat kini memantulkan bayangan industri yang sedang sakit.
Hingga 8 April, hanya 170.000 pembeli luar negeri yang mendaftar ke Canton Fair, turun 30 dibandingkan sesi sebelumnya. Yang lebih mencemaskan, jumlah pembeli dari Amerika Serikat dan Eropa kini hanya 10 dari total peserta—kurang dari setengah dari biasanya. Absennya klien-klien Barat telah mengguncang industri ekspor China.
Para eksportir di Canton Fair menggambarkan suasana penuh ketidakpastian. "Pasar AS membeku," ujar seorang peserta pameran, mengisyaratkan hilangnya pembeli Amerika yang dulu menjadi tulang punggung bisnis mereka.
Perang Dagang AS-China
Di balik pintu tertutup, suara-suara kecemasan terdengar makin keras, menyebut situasi ini sebagai "momen hidup atau mati" bagi perdagangan. Saat tarif melambung, bisnis-bisnis yang selama ini mengandalkan pesanan Barat mulai goyah, mempertanyakan apakah status China sebagai pabrik dunia perlahan memudar di bawah tekanan yang terus meningkat.Perang dagang yang memanas antara AS dan China telah menjerumuskan para eksportir ke dalam krisis. Selama bertahun-tahun, dunia usaha menahan beban tarif yang meningkat, namun gelombang terbaru ini terasa jauh lebih menghantam. Sebagai respons atas sikap balasan Beijing, Washington menaikkan tarif impor dari China hingga 245, memutus salah satu jalur hidup utama bagi para produsen.
Bagi perusahaan seperti KMA Electronics, dampaknya sangat menghancurkan. Dengan 60–70 pendapatannya bergantung pada pembeli Amerika, lonjakan tarif ini menjadi pukulan telak.
"Setelah tarif menyentuh 145, pesanan dari AS hampir menghilang," ujar manajer pemasaran perusahaan tersebut. Kini, para eksportir mati-matian mencari jalan lain—menjelajahi perdagangan transhipment, membidik pasar baru, atau sekadar berharap ada terobosan kebijakan. Tapi bertahan hidup jauh dari kata pasti.
Barang-barang mungkin masih meninggalkan pelabuhan China, namun pembayaran yang tak kunjung datang membuat banyak bisnis tercekik likuiditas dan menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian. Jika perang dagang ini terus berlarut, banyak yang khawatir dampaknya akan merembet jauh melampaui lantai pabrik.
Fondasi Industri Nasional
Di seluruh China, gelombang dampak perang dagang makin sulit diabaikan. Di Yiwu, kota yang dijuluki “supermarket dunia”, eksportir kecil dan menengah bertarung untuk bertahan. Kota yang dulu ramai dengan e-commerce lintas negara itu kini dipenuhi cerita penutupan pabrik dan PHK (pemutusan hubungan kerja) massal, seiring tekanan yang semakin berat.Bagi pemilik pabrik lokal, angka-angka bicara dengan gamblang. "99 bisnis e-commerce di sini sudah tidak lagi menghasilkan untung," kata seorang pengusaha, menggambarkan industri yang berada di tepi jurang. Tingkat kelangsungan hidup kini tinggal 5, memaksa banyak perusahaan memangkas biaya dan memutar otak mencari strategi baru.
Tekanan ekonomi ini tak hanya tercermin di laporan keuangan, tapi juga menghantam para pekerja. Seorang sumber industri mempertanyakan bagaimana mungkin gaji karyawan bisa dipertahankan di tengah gelombang keterlambatan pembayaran.
Seiring produksi yang menurun dan pekerja dipulangkan, sektor ekspor China yang dulu menjadi tulang punggung pertumbuhan kini berada dalam tekanan berat. Jika situasinya terus memburuk, dampak jangka panjangnya bisa merombak fondasi industri nasional.
Industri manufaktur China tengah mengalami transformasi besar, seiring bergesernya rantai pasok global. Sebagai bekas penguasa tak terbantahkan di produksi berbiaya rendah, China kini menghadapi kompetisi dari negara-negara berkembang yang mulai menguatkan kapabilitas industrinya. Akibatnya, makin banyak pabrik China yang memilih pindah ke luar negeri demi mencari biaya produksi yang lebih rendah dan kondisi perdagangan yang lebih menguntungkan.
Mencari Pasar Baru
Di Yiwu, dampaknya terasa nyata. Pasar yang dulu hiruk-pikuk dengan pembeli mancanegara kini terasa kosong. "Klien-klien tidak lagi datang ke China," ujar seorang pedagang lama. "Pabrik-pabrik mulai pindah keluar, dan setiap tahun kami kehilangan bisnis."Kemerosotan yang terus berlangsung ini menyoroti tren yang lebih besar—terkikisnya dominasi manufaktur China saat bisnis dan investor mulai melirik tempat lain untuk keunggulan produksi.
Hubungan perdagangan yang dulu saling bergantung antara AS dan China kini terurai, berubah menjadi pertarungan ekonomi berisiko tinggi. Apa yang dulu sekadar spekulasi kini menjadi kenyataan: proses decoupling jangka panjang yang mengancam jantung ekonomi ekspor China.
Di 20 kota besar China, termasuk Shenzhen, Shanghai, dan Ningbo, perdagangan luar negeri adalah tulang punggung PDB. Namun saat pembeli dari AS dan Eropa menarik diri, bisnis dihadapkan pada ketidakpastian yang semakin besar.
Tanpa pesanan dari Barat, pabrik-pabrik berisiko stagnan, ancaman PHK membayangi, dan berbagai sektor bergulat untuk beradaptasi.
Untuk saat ini, para eksportir bergerak cepat—mencari pasar baru, menggeser rantai pasok, dan berharap pada perubahan kebijakan yang entah kapan akan datang.
Namun gambaran besarnya sudah jelas: lanskap perdagangan global sedang bergeser, dan dominasi China sebagai pabrik dunia kini menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dampaknya akan membentuk ulang industri, jauh melampaui perbatasannya sendiri.










