LBH Papua Desak Pencabutan SK Menteri KLHK yang Dinilai Langgar Hak Ulayat Masyarakat Adat Marind

LBH Papua Desak Pencabutan SK Menteri KLHK yang Dinilai Langgar Hak Ulayat Masyarakat Adat Marind

Terkini | sorongraya.inews.id | Minggu, 13 Oktober 2024 - 08:00
share

 


JAYAPURA, iNewsSorong.id  – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, melalui Direktur Emanuel Gobay, S.H., MH, mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI, Siti Nurbaya, segera mencabut Surat Keputusan (SK) Nomor 835 Tahun 2024. SK tersebut memberikan izin penggunaan kawasan hutan seluas 13.540 hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, untuk proyek ketahanan pangan dan keamanan atas nama Kementerian Pertahanan.


LBH Papua desak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI segera cabut ijin penggunaan kawasan hutan seluas 13.540 hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : LBH Papua).

 

 

LBH Papua dalam siaran pers, nomor : 013 / SP-LBH-Papua / X / 2024 tertanggal 12 Oktober 2024, menyebutkan bahwa penerbitan SK tersebut dilakukan secara sewenang-wenang dan melawan hukum, tanpa melalui mekanisme yang melibatkan masyarakat adat sebagaimana diatur dalam UU Otonomi Khusus Papua. "Menteri KLHK telah mengambil hak ulayat masyarakat adat Marind secara sewenang-wenang, tanpa penghormatan terhadap hak-hak mereka," tegas Gobay dalam siaran pers yang diterima iNewsSorong.id.

Pelanggaran ini mencakup tidak adanya konsultasi atau persetujuan dari masyarakat adat setempat terkait penggunaan tanah ulayat mereka, yang bertentangan dengan Pasal 42 dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua. Padahal, hak ulayat masyarakat adat telah diakui secara konstitusional dalam Pasal 18B UUD 1945 serta dijamin dalam Pasal 36 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


LBH Papua desak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI segera cabut ijin penggunaan kawasan hutan seluas 13.540 hektare di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. (FOTO: iNewsSorong.id - HO : LBH Papua).

 

 

Lebih lanjut, LBH Papua juga menyoroti keterlibatan 10 perusahaan, termasuk PT Murni Nusantara Mandiri dan PT Global Papua Abadi, yang sudah memulai aktivitas di lahan tersebut meskipun belum memiliki izin lingkungan yang sah. "Tindakan penanaman patok oleh PT Murni Nusantara Mandiri di kebun karet milik Marga Kwipalo tanpa izin pemilik tanah merupakan tindak pidana penggelapan tanah adat," tambah Gobay, merujuk pada Pasal 385 KUHP.

LBH Papua juga mengkritik keterlibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam proyek ini, menyebut bahwa pelibatan lima batalyon infanteri untuk mendukung proyek strategis di Merauke melanggar UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang melarang tentara terlibat dalam kegiatan bisnis. Gobay mengingatkan bahwa situasi ini bisa memicu pelanggaran HAM berat, mengingat aksi protes masyarakat Marind yang telah menolak proyek tersebut.

Dalam upaya mencari keadilan, LBH Papua telah melaporkan kasus ini ke Komnas HAM RI pada 11 Oktober 2024, dengan nomor agenda 155091. Mereka meminta Komnas HAM segera membentuk tim investigasi untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hak ulayat masyarakat adat Papua.

LBH Papua menegaskan lima tuntutan utama dalam siaran pers tersebut:

- Presiden RI segera menghentikan Proyek Strategis Nasional di Merauke yang melanggar hak ulayat masyarakat adat Marind.

- Menteri KLHK segera mencabut SK Nomor 835 Tahun 2024.

Perusahaan-perusahaan yang terlibat segera menghentikan aktivitas mereka di tanah adat Marind.

- Panglima TNI membubarkan batalyon infanteri yang terlibat dalam proyek bisnis di Papua.

- Komnas HAM RI segera membentuk tim investigasi terkait pelanggaran HAM yang dialami masyarakat adat Papua.


Dengan tuntutan tersebut, LBH Papua berharap hak-hak masyarakat adat, khususnya masyarakat adat Marind, dapat dihormati dan dilindungi sesuai ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

 

 

 

Topik Menarik